REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Beberapa ahli dalam sidang uji materi Undang Undang (UU) Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi (MK) menganggap masa jabatan seumur hidup untuk Jaksa Agung tidak masalah. Sampai saat ini belum ada aturan yang jelas terkait periode jabatan itu.
"Jangan khawatir kalau seumur hidup (Jaksa Agung) itu tidak demokratis," kata mantan Hakim Konstitusi, Achmad Roestandi, ketika memberikan keterangan ahli di MK, Selasa (24/08). Menurutnya, di Amerika Serikat, yang dianggap sebagai negara demokratis, anggota 'Supreme Court'-nya diberikan masa jabatan seumur hidup.
Lebih lanjut, Achmad menjelaskan, dalam hal masa jabatan Jaksa Agung memiliki kekhususan. Sebab jika dilihat dari usia pensiun jaksa pada umur 62 tahun, baginya hal tersebut tidak berlaku pada Jaksa Agung. Sebab Jaksa Agung adalah pejabat negara, sedangkan jaksa biasa bukan merupakan pejabat negara. "Dalam penjelasan UU ini (UU Kejaksaan), umur itu tidak berlaku pada Jaksa Agung. Umur maksimal Jaksa Agung belum ditentukan," katanya.
Masa kerja Jaksa Agung juga didasarkan pada pengangkatan dan penghentian oleh presiden. Sehingga Jaksa Agung yang menjabat saat ini masih bisa dikatakan sah hingga keluarnya keputusan pemberhentian.
Sependapat dengan hal tersebut, Staf Khusus Presiden, Denny Indrayana, ketika memberikan keterangan dalam sidang itu juga menganggap bahwa jabatan seumur hidup Jaksa Agung justru akan menguatkan independensi kejaksaan itu sendiri. "Independensi itu terganggu jika masa jabatan pejabatnya mudah tergantikan," ujarnya.
Denny juga mengatakan bahwa adanya jabatan seumur hidup tidak bertentangan dengan prinsip konstitusi. Praktek jabatan seumur hidup ini sudah ada di AS. Akan tetapi, meskipun terbuka peluang adanya masa jabatan seumur hidup, dia yakin dalam dua periode presiden, pasti akan ada pergantian Jaksa Agung. ''Saya sulit membayangkan presiden terus menerus menggunakan Jaksa Agung yang sama," katanya.
Seperti yang diketahui, Yusril menguji UU Kejaksaan terkait posisi Jaksa Agung. Dia menganggap Hendarman Supandji mengisi jabatan tersebut secara ilegal. Menurutnya ketika Kabinet Indonesia Bersatu pertama berakhir, seharusnya Hendarman berhenti atau habis masa jabatannya. Akan tetapi dia justru masih memangku jabatan itu hingga Kabinet Indonesia Bersatu kedua. Padahal tidak ada keputusan dari presiden terkait pengangkatan Hendarman sebagai Jaksa Agung.