REPUBLIKA.CO.ID,SANAA--Perundingsn-perundingan untuk memperkuat gencatan senjata di Yaman utara dimulai di Qatar, Selasa antara para pejabat pemerintah dan gerilyawan Syiah, kata waki-wakil kedua pihak kendatipun terjadi bentrokan senjata yang menewaskan tujuh orang. Menghadapi pemberontakan separatis yang meningkat di selatan dan serangan-serangan Al Qaida ,Yaman berusaha keras untuk menghentikan konflik dengan gerilyawan Syiah yang melanda wilayah utara sejak tahun 2004 dan menjalar di Arab Saudi.
Delegasi-delegasi Yaman, yang beranggotakan wakil-wakil militer berada d Doha dalam usaha menjadikan gencatan senjata yang lemah itu ke perjanjisn perdamaian resmi dengan bantuan para penengah Qatar yang membantu tercapainya satu perjanjian perdamaian 2088 yang hanya bertahan sebentar. "Perundingan itu dimulai sesuai rencana, tetapi saya tidak memiliki informasi lebih jauh," kata seorang pejabat pemerintah kepada Reuters.
Perundingan-perundingan antara kedua pihak itu dimulai atas prakarsa Qatar," kata juru bicara gerilyawan Mohammed Abdel Salam melalui telepon. Yahya al Houthi, saudara kandung pemimpin gerilyawan itu, ikut serts dalam perundingan itu,kata seorang juru bicara gerilyawan lainnya. Perundingan-perundingan itu dilakukan pada saat pertempuran antara gerilyawan dan kelompok suku yang pro pemerintah yang menewaskan paling tidak empat anggota suku dan tiga gerilyawan di kota Huth,Yaman utara, sekitar 100km utara Sanaa Ahad malam, kata seorang pejabat suku kepada Reuters.
Yaman mencapai gencatan senjata dengan gerilyawan Februari untuk menghentikan perang yang telah menyebabkan 350.000 orang mengungsi sejak tahun 2004. Beberapa pengamat Yaman menganggap perundingan Doha sebagai peristiwa kecil sehubungan dengang aksi kekerasan di wilayah selatan negara itu tetapi yang lainnya merasa mereka dapat membentuk satu landasan kuat bagi perdamaian jangka panjang, sementara pemerintah berusaha mengalihkan perhatiannya untuk memerangi gerilyawan Al Qaida yang merupakan satu ancaman strategis yang lebih besar.
"Saya sangat optimistis," kata Abdul Ghani al Iryani, seorang pengamat yang tinggal di Sanaa. "Saya kira kedua pihak, pemerintah dan kelompok Houthi,secara tulus berusaha merundingkan gencatan senjata yang permanen."
Yaman mendapat tekanan untuk menyelesaikan konflik-konflik domestik dan memusatkan perhatian pada penumpasan sayap Al Qaida regional yang menghimpun kembali kekuatan mereka di negara Jazirah Arab itu dan melancarkan serangan-serangan terhadap Barat, Arab Saudi dan Yaman. Di front utara , Iryani mengatakan ia merasa perundingan perdamaian mungkin bisa terhambat jika pemerintah tidak membebaskan para anggota kelompok Houthi yang dipenjarakan, gerilyawan Syiah yang yang diidentifikasi oleh nama suku dari pemimpin mereka Abdul Malek al Houthi.
Tuntutan-tuntutan utama pihak gerilyawan adalah pemerintah harus membebaskan para tahanan, sementara Houthi diperkirakan akan meletakkan senjata mereka serta menyerahkan kekuasaan atas wilayah itu kepada negara. Kedua pihak menuduh pihak lainnya membawa wilayah itu ke pinggir perang karea tidak menjalankan kewajiban-kewajban mereka.
Sejauh ini pemerintah bersikeras tidak bersedia membebaskan para tahanan Houthi. Inilah masalah-masalah yang mungkin menghambat peluang usaha perdamaian ini," katanya.