REPUBLIKA.CO.ID, JERUSALEM--Menjelang pertemuan langsung Palestina-Israel di Washington 1 September mendatang, kedua belah pihak sudah mulai mengambil ancang-ancang. Dalam sebuah dokumen yang disiapkan Palestina, tercuat tuntutan untuk menghentikan semua program pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki Israel. Pihak Palestina juga menolak pembatasan penghentian program itu hanya terhadap wilayah-wilayah tertentu. Tanggal 26 September mendatang moratorium sementara terhadap pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat Yordan akan berakhir.
Presiden Palestina Mahmud Abbas yang kekuasaannya hanya sebatas Tepi Barat menyatakan akan menarik mundur dari pembicaraan itu, apabila Israel terus memaksakan pembangunan pemukiman di sana. Menteri Palestina Mohammed Shtija menyatakan, agar rencana pembicaraan politik ini berjalan mulus, sejumlah prasyarat harus dipenuhi. Pertama harus terbentuk iklim yang menuju pengetian total üembangunagnan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina, termasuk di Yerusalem. Selain itu harus ada otoritas pemerintah Palestina yang jelas untuk melancarkan proses perdamaian ini, yang berdasarkan hukum internasional. "Kami memasuki negosiasi dengan dasar keterangan yang diberikan dalam penjelasan Kwartet Timur Tengah," ujarnya.
Mohammad Shtija yang juga seorang tokoh Fatah menyampaikan penolakan terhadap bentuk-bentuk kesepakatan transisi, seperti Kesepakatan Oslo maupun penundaan penyelesaian konflik Timur Tengah itu. “Kami tidak menginginkan sebuah kesepakatan sementara maupun sebuah negara sementara. Yang kami harapkan adalah penyelesaian jangka panjang untuk semua masalah Palestina," ujarnya.
Termasuk di dalamnya, kata dia, adalah hak pengungsi untuk kembali ke Palestina yang didasari hukum internasional. Selain itu, hak untuk menetap di negara sendiri. "Kami juga berhak untuk menentukan masa depan negara kami sendiri. Disamping itu, berhak mengakhiri didudukinya wilayah kami, serta agar hak kami atas wilayah perairan dan udara dihormati."