REPUBLIKA.CO.ID, KOT ADDU, PAKISTAN--Bagi sebagian anak kecil yang terjebak banjir di Pakistan, saat yang paling menakutkan dalam hidup mereka ialah hari sebelum banjir melanda. "Orang-orang ketakutan dan berlarian ke sana-ke mari. Ada banyak desas-desus," kata Mehboob (11), satu dari jutaan orang yang meninggalkan rumah mereka di Punjab selatan.
"Kami tak tahu ke mana kami akan pergi atau apa yang akan kami lakukan." Keluarganya melakukan perjalanan seharian, berjejalan di traktor dan trailer, untuk menyelamatkan diri dari banjir yang menyapu dari arah utara empat pekan sebelumnya dan merendam rumahnya pada malam itu.
Tidak seperti di daerah barat-laut, tempat kebanyakan dari 1.600 orang yang meninggal, Punjab selatan telah mendapatkan peringatan mengenai banjir yang akan menerjang. Peringatan itu cukup buat sebagian besar warga desa untuk menyelamatkan diri, tapi tak cukup untuk membawa harta-benda mereka.
Juga tak tersedia cukup waktu buat anak-anak untuk menyelamatkan diri dari trauma karena mereka harus menyelamatkan diri dalam kondisi panik. "Melalui pengeras suara di masjid, mereka mengatakan, 'air akan datang, kalian semua mesti pergi'," kata Rukhsar (10), yang seperti Mehboob sekarang melewati hari di satu pusat yang dikelola oleh UNICEF dan badan amal lain di desa Kot Addu.
"Aku kira kami semua akan tenggelam hingga tewas," kata gadis cilik itu, kepada wartawan Reuters, Di tembok terdapat gambar yang dibuat dengan menggunakan crayon hitam oleh seorang siswa yang lebih tua, yang memperlihatkan satu rumah kecil dihanyutkan gelombang raksasa. Sementara itu hujan lebat mengguyur dari awan hitam di udara.
"Kami memasang gambar itu di atas untuk mendorong mereka berbicara, sebab ketika anak-anak pertama kali datang ke sini, trauma yang mereka derita terlalu berat buat mereka sehingga mereka tak bisa membicarakannya," demikian penjelasan seorang asisten.
Dari 20 juta warga yang terpengaruh oleh banjir,vkelompok anak-anak yang menghadapi resiko paling besar. Bahkan penyakit biasa seperti cacar air dan campak menyebar dengan cepat di kalangan anak-anak yang berdesakkan di berbagai kamp pengungsian.
Di atas semua itu, mereka menghadapi disentri dari air yang tercemar, malaria, dan infeksi kulit. Meskipun begitu, anak-anak di pusat penampungan termasuk yang beruntung. Mereka mendapat makanan dan obat; mereka telah dibersihkan dan memiliki tempat untuk bermain pada siang hari.
Di tempat lain di Punjab selatan, wartawa Reuters telah menyaksikan kaum ibu dan anak-anak berdesakkan di rumah sakit dan klinik sementara. Di satu bangunan sekolah di kabupaten lain di kota tersebut, beberapa anak duduk bersama dengan ibu mereka di satu ranjang rumah sakit bersama bayi yang diinfus. Mereka berada di ruangan itu, yang juga dipenuhi pasien.
Namun, anak-anak di pusat penampungan pada siang hari pun terjebak antara mimpi buruk terhadap banjir yang surut secara perlahan dan masa depan yang tak pasti --rumah keluarga mereka hancur dan tanah pertanian terendam air. "Semua anak ini memperlihatkan trauma di mata mereka, kondisi yang jarang saya lihat sebelumnya," kata Anthony Lake, Direktur Pelaksana UNICEF, setelah mengunjungi satu sekolah.
Ia menambahkan ia telah memperhatikan bahwa gambar yang dibuat oleh beberapa gadis cilik seringkali memperlihatkan boneka mereka yang telah tertinggal di rumah mereka. Mehboob, yang keluarganya baru saja kembali ke daerah tersebut, telah pulang untuk melihat tempat rumahnya pernah berdiri. Tak ada yang tersisa.
"Kami sangat sedih dan ibuku menangis. Kakak-kakakku memberitahu aku ini adalah kehendak Tuhan; ini semua sudah terjadi, apa yang dapat kami lakukan?" katanya. "Kami masih ketakutan terhadap air, tapi jika rumah kami dibangun lagi, kami ingin pulang."
Keluarga Rukhsar sudah pulang ke rumah mereka. Atap dan satu temboknya telah ambruk tapi sisa bangunannya masih ada. "Rumah kami dapat ambruk setiap waktu tapi kami tak bisa pergi ke tempat lain."