REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) membantah anggapan bahwa industri telekomunikasi RI terlalu terbuka bagi investor asing. "Tidak benar kalau ada yang menganggap industri telekomunikasi kita terlalu terbuka untuk asing, karena saya pikir pemerintah masih bisa memproteksi industri telekomunikasi dengan efektif," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo Gatot S. Dewa Broto di Jakarta, Selasa (7/9).
Ia mengatakan, sejauh tidak melanggar ketentuan, pemerintah selalu berupaya untuk memproteksi secara efektif industri telekomunikasi di tanah air, meskipun kini merebak keberadaan investor asing dalam bisnis sektor telekomunikasi Indonesia.
Namun, menurut Gatot, dalam batasan dan aturan pemilikan saham, misalnya, telah diatur mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI) agar industri tidak jatuh dalam penguasaan investor asing secara mutlak. "Sejauh ini, rambu-rambu yang diatur oleh DNI dilaksanakan dengan baik dalam industri telekomunikasi kita," katanya.
Ia menambahkan, Kemenkominfo justru kerap dianggap konservatif dalam beberapa hal, misalnya saat revisi DNI terakhir di mana pihaknya bertahan melarang kepemilikan asing dalam pembangunan menara telekomunikasi.
Menurut dia, pembangunan dan kepemilikan asing dalam bisnis menara telekomunikasi harus nol persen dan steril dari investor asing. "Kami tidak ada kompromi dalam hal itu, kami akui. Tapi kalau bisnis menara, kita juga buka untuk asing, nanti ibaratnya dari hulu ke hilir bisnis telekomunikasi dikuasai asing. Kami hanya ingin secuil saja kok," kata Gatot.
Ketentuan itu sekaligus menghapus anggapan banyak pihak yang menilai kebijakan pemerintah di bidang telekomunikasi kini bersifat sangat terbuka bagi asing.
Keterbukaan yang tanpa batas dalam sektor telekomunikasi dikhawatirkan oleh banyak kalangan akan membahayakan pertahanan nasional.
Gatot mencontohkan dalam kasus lain di mana saat tender BWA (Broadband Wireless Acces), salah satu ketentuan di dalamnya menyaratkan bahwa wajib bagi peserta tender untuk menggunakan 35 persen produksi lokal. "Ini tidak hanya imbauan tapi hukumnya wajib, soal pemenang siapapun punya kemungkinan tapi 35 persen harus produk lokal," katanya.
Dalam kasus itu, pihaknya banyak mendapat pertanyaan dari calon investor asing terutama dari Amerika Serikat dan Jepang bahkan ada sebuah kelompok industri telekomunikasi di Amerika Serikat yang mengajukan protes kepada WTO terkait sikap Indonesia yang dianggap terlalu melindungi sektor telekomunikasinya.
"Ini saya pikir wajar kita lakukan dengan memproteksi hanya 35 persen, kami tidak protek lebih dari 50 persen," katanya.
Gatot menambahkan, hal serupa terjadi dalam kasus BlackBerry setahun lalu dimana pemerintah RI pernah pelarang produk-produk tipe baru Blackberry dari Research in Motion (RIM). "Kita juga pernah tidak mengijinkan RIM yakni melarang impor tipe baru Blackberry kira-kira setahun lalu," katanya.
Hal itu, kata dia, dilakukan salah satunya untuk melindungi industri telekomunikasi lokal dimana pihaknya menginginkan pasar Indonesia tidak hanya diperlakukan sebagai konsumen tetapi perlindungan konsumen di dalamnya juga terjaga dengan baik. Gatot menekankan, pemerintah berupaya untuk bersikap profesional.
"Dari satu sisi kepentingan domestik terjaga dengan baik tapi di sisi lain investor asing juga terakomodir kepentingannya. Bukan berati kita anti-investasi asing, kita buka seluas-luasnya," kata Gatot.