Oleh Prof Dr KH Achmad Satori Ismail
Ramadhan adalah bulan istimewa, karena banyak kemuliaan yang terdapat di dalamnya. Apakah karena berbagai keutamaan itu sehingga kita rajin beribadah di bulan Ramadhan? Tentu, bukan hanya itu. Amal ibadah yang dilaksanakan, insya Allah, semuanya dilandasi dengan niat tulus karena Allah.
Dalam salah satu riwayat, Rasul SAW mengatakan; bila Ramadhan tiba, maka pintu-pintu surga dibuka lebar, pintu-pintu neraka ditutup rapat dan setan-setan dibelenggu, sehingga kita ringan bersedekah dan mudah menunaikan ibadah. Apakah karena setan yang dibelenggu, sehingga kita lebih cenderung untuk menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya?
Kalau setan diborgol, mengapa masih ada saja orang yang melakukan maksiat di bulan suci ini? Menurut sebagian ulama, makna 'setan-setan dibelenggu' itu adalah kiasan untuk menunjukkan bahwa orang yang berpuasa dengan benar, maka mereka tidak akan tergoda oleh berbagai rayuan setan dalam bentuk apa pun.
Karena semua pintu yang menjadi pintu masuk setan, telah ditutup rapat dalam diri orang yang berpuasa (shaim). Mulut mereka terjaga dari ghibah (mengumpat), namimah (adu domba), perkataan kotor, haram, menghina, maupun dosa mulut lainnya. Sebab, hal itu akan mengurangi pahala puasa. Perut juga dikunci rapat, karena ia menyadari bahwa dirinya bisa disiplin.
Begitu juga dengan nafsu syahwat 'hewani'. Semuanya mampu terjaga dengan baik selama Ramadhan. Orang yang berpuasa, tentu tidak akan melakukan perbuatan dosa besar itu, seperti pelecehan seksual, perzinaan, dan lainnya.
Dengan janji Allah untuk melipatgandakan pahala ibadah umat Islam dan dibukakan baginya pintu ampunan, maka hal ini akan membuat setan dan kawannya menjadi kecewa, kurus kering, dan tak berdaya melihat balasan yang didapatkan umat Islam dari Allah SWT.
Tapi, mengapa masih ada kemaksiatan? Ada pendapat yang lebih kuat menjelaskan, bahwa setan yang dibelenggu di bulan Ramadhan itu adalah maradatus syayathin (gembong setan). Sedangkan setan yang kroco, lemah, dan kecil, dibiarkan berkeliaran dan berlomba untuk menggoda manusia yang lemah imannya, tanpa bosan.
Dalam konteks ini, orang yang melakukan dosa di bulan Ramadhan adalah orang lemah imannya yang gampang digelincirkan oleh setan rendahan sehingga terseret ke lembah kemaksiatan. Nah bagaimana kalau bos-bos setan dilepas seusai Ramadhan? Boleh jadi kemasiatan akan semakin merebak, dan upaya larangan atau pembatasan jam operasional bagi tempat hiburan berbasis masksiat pun akan dicabut.
Bila di bulan suci ini kita bisa rajin beribadah, getol sedekah, dan enggan bermaksiat, karena setan telah dibelenggu. Maka, bisakah setelah Ramadhan ibadah itu terus berlanjut pada bulan berikutnya, saat setan tak terbelenggu lagi? Semoga saja. Namun, bila itu terus mengumbar nafsu, berarti setannya masih ada dalam diri kita. Sebagai mukmin kita yakin bahwa kita bukanlah setan promotor kemaksiatan. Wallahu a'lam.