Sabtu 18 Sep 2010 18:13 WIB

Gereja Larang Seni Tindik, Seorang Siswa di AS Protes

Rep: Agung Sasongko/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Tindik Hidung (Ilustrasi)
Tindik Hidung (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, RALEIGH, AS--Seni tindik tengah digandrungi kawula muda. Sama halnya dengan tato yang lebih dulu tenar, seni menindik membuat seseorang tampak berbeda.

 Meski terbilang tren, pandangan masyarakat terutama kalangan agama terhadap seni tindik tidak selamanya positif. Alasannnya, seni tindik identik dengan pelanggaran norma agama yang berujung pada pertanyaan terhadap keyakinan seseorang. Pandangan itu tentu berbenturan dengan ekspresi kebebasan dan wujud aktualisasi diri anak-anak muda yang tergolong hak asasi manusia.

Di AS misalnya,  salah seorang siswa bernama Arianan Lacono, 14 tahun, diskors sekolahnya. Lacono yang bersekolah di Clyaton High School, Raleigh, New York City ini ketahuan menindik hidungnya. Prilaku ini dinilai sekolah telah melanggar tata cara berpakaian yang telah disepakati. "Saya pikir sekolah begitu bodoh menghukum saya karena menidik hidung," kata dia seperti dikutip dari Yahoo News, Jumat, (17/9).

Ariana bersama ibunya Nikki, segera memprotes hukuman tersebut dengan alasan melanggar hak asasi. Nikki dan Arianan merupakan jamaah Gereja yang memperbolehkan tubuh seseorang dimodifikasi. Gereja itu memang tidak terkenal dan hanya beranggotakan sedikit jamaah. "Kami sudah banyak bertanya kepada pihak sekolah. Apa panduan yang harus anda ikuti?kepercayaan agama yang tulus. Kami telah diberitahu, jika kami Hindu atau dia Muslim tentu akan berbeda," kata Nikki.

Sementara itu,  juru bicara sekolah, Richard Ivey, mengatakan, aturan yang dibuat pihaknya merujuk pada gereja. "Mereka mengatakan tidak sependapat lantaran mereka memilih untuk tidak menghormati kepercayaan yang dianut sekolah ini," kata dia.

Ivey menambahkan seni menindik, tato dan modifikasi tubuh lain merupakan hal yang dilarang gereja. Menurut dia, pihaknya tidak menyembah Tuhan moedifikasi tubuh atau sejenisnya. Ihwal seni menindik, Ivey menilai seni meodifikasi tubuh, seseorang teah mengubah dirinya dan pandangan dunia terhadapnya.

Secara terpisah, pakar hukum konsititusi dan agama, University of Pennsylvania, Sally Gordon, mengatakan pihak sekolah seharusnya menerapkan rujukan hukum yang netral. Persoalan itu dinilai akan terus dijumpai selama aturan sekolah merujuk pada agama tertentu. "Sekolah memiliki hak untuk membuat aturan. Tapi lebih baik dibuat aturan senetral mungkin," kata dia.

Gordon berpandangan hal yang menarik dari kebebasan agama adalah masyarakat berhak menjalankan keyakinannya meski terlihat aneh oleh orang lain namun masuk akal bagi kalangan internal. "Kita bisa mengklaim negara ini menghargai kebebasan beragama jika memang kita telah menghormati keyakinan yang ada di negeri ini," paparnya.

Sementara itu, Direktur Legal North Carolina ACLU, Katy Parker, menilai apa yang dilakukan Lacono merupakan haknya. "Tidak ada yang salah dengan itu," kata Parker. Dia menambahkan kebebasan siswa memang dibatasi sekolah, tetapi ketika menyangkut hak asasi tentu menjadi masalah.

Kasus yang menimpa Ariana merupakan ulangan kasus yang terjadi tahun 1999. Kala itu seorang Nenek bernama Catherine Hicks melarang cucunya mengenakan seragam. Aturan mengenakan seragam ditetaplam Halifax School, North Carolina. Cahterine saat itu beralasan mengenakan seragam sama saja mendukung gerakan Anti-Kristus. Pengadilan North Carolina kemudian memenangkan kasus tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement