REPUBLIKA.CO.ID,
BOGOR--Perempuan belum dapat diterima sepunuhnya sebagai pemimpin dalam proses pemngambilan keputusan bangsa, kata Guru Besar komunikasi gender Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Aida Vitayala S Hubeis di Bogor, Selasa. Aida Vitayala mengemukakan, pada umumnya bangsa Indonesia belum dapat mewujudkan keadilan gender di lingkungan masing-masing mulai lingkungan terkecil hingga nasional.
Prof Aida lantas merujuk pada data 10 tahun terakhir di mana kaum perempuan kerap menghadapi hambatan yaitu belum dapat diterima sebagai pemimpin dalam pengambilan keputusan. "Saya amati pada umumnya kaum perempuan belum mendapatkan penerimaan yang baik dari masyarakat dalam memimpin pengambilan keputusan," kata Aida.
Dikatakannya, budaya masyarakat dan bangsa Indonesia pada umumnya masih terpengaruh budaya "patriarki" yaitu dihinggapi kebiasaan menilai bahwa kaum laki-laki lebih baik dari kaum perempuan. Budaya "patriarki" tersebut, kata mantan ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan (KMP) Pascasarjana IPB itu, mempengaruhi suburnya diskriminasi gender di tengah masyarakat. "Suburnya budaya patriarki di tengah masyarakat memicu terjadinya diskriminasi gender," ujarnya.
Kontrol budaya patriarki memang merupakan sistem monopli atau dominasi pengambilan keputusan di setiap level pemerintahan dan kekuasaan mulai lingkup negara hingga lingkup RT. "Keyakinan pada budaya patriarki menjadi sistem yang melegitimasi dominasi kekuasaan laki-laki dan menjadi penyebab utama diskriminasi gender," tuturnya.
Faktor lain yang memicu maraknya diskriminasi gender, katanya, adalah lingkungan sosial terkecil yaitu keluarga. Posisi laki-laki sebagai kepala rumah tangga membentuk persepsi masyarakat seolah kaum laki-laki lebih baik dari kaum wanita dalam mengurusi ranah privat maupun publik, katanya.