REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON--Mantan perdana menteri Australia John Howard pada Selasa (28/9) mengkritisi 'multikulturalisme' di negara-negara penutur bahasa Inggris atau Inggris Raya. Ia mengatakan beberapa sektor terlalu mengakomodasikan minoritas Muslim.
Howard, seorang konservatif bermulut tajam memimpin Australia selama 11 tahun hingga kalah pada pemilu 2007, mengatakan saat berkunjung ke Washington bahwa 'Anglosphere' (sekelompok negara berbahasa ibu Inggris) harus lebih berbangga diri dengan nilai dan pencapaiannya.
"Ini bukan merupakan saat untuk meminta maaf atas identitas khusus kami, melainkan secara tegas, terhormat dan kuat menekankan kembali identitas tersebut," kata Howard di Heritage Foundation, yayasan cendikiawan konservatif.
"Saya pikir salah satu kesalahan yang diperbuat beberapa bagian di negara berbahasa Inggris dalam beberapa dekade terakhir ialah keliru dengan multirasialisme dan multikulturalisme," tegas Howard dikutip AFP.
Howard secara khusus menyinggung Inggris, negara dengan komunitas Muslimnya yang menjadi pusat perhatian setelah bom yang meledak pada 2005 di dalam sistem transportasi umum London. "Saya sangat percaya dengan multirasialisme. Saya percaya bahwa masyarakat akan memperkaya diri bila mereka menarik dari berbagai bagian di dunia, sebagaimana yang negeri saya lakukan, tanpa diskriminasi dan mengkontribusi, seperti apa yang Amerika Serikat lakukan, untuk membangun satu masyarakat yang hebat," tuturnya.
"Tetapi ketika suatu negara menarik orang dari beberapa bagian di dunia, itu menarik mereka karena daya magnetis dari kebudayaan dan jalan hidup negara tersebut," ujar Howard.
Saat Howard menjabat sebagai perdana menteri, ia menghadapi kritik dari para lawannya, mengatakan ia telah memperuncing sentimen anti-Islam melalui aturan anti-teroris keras dan pengendalian imigrasi yang lebih ketat, termasuk mengadakan ujian mengenai 'nilai-nilai Australia.' Howard mengatakan ia menyambut warga Muslim Australia dan memuji Ed Husic, seorang keturunan imigran Bosnia, sebagai anggota parlemen Muslim pertama di negeri kangguru.
Tetapi Howard, yang sangat mendukung kebijakan invasi Irak dan Afghanistan mantan presiden AS George W. Bush, mengingatkan radikalisme Islam merupakan ancaman yang nyata. Ia mengkritisi, mereka yang "mengaburkan identitas kebudayaan kita dan membuatnya menjadi tercampur dan tak jelas," ucapnya.
"Saya berpendapat kita harus menghindari membuat asumsi bahwa cara untuk mempengaruhi ekstrimisme ialah membuat diri Anda lebih menarik terhadap ekstrimisme," ujar Howard.