REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Komarudin Hidayat, menyarankan untuk melihat pembatalan lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Belanda dari berbagai dimensi. Semua tergantung dari pemerintah, media massa, dan masyarakat.
"Bagaimana mengolah isu saja. Ini masalah isu, opini, dan citra," kata Komarudin ketika dihubungi Republika, Rabu (06/10). Jika berbicara tentang harga diri bangsa di balik pembatalan itu, sikap tegas yang ditunjukan SBY bisa saja menaikan citra. Tapi bisa juga sebaliknya.
Dalam mengamati pembatalan itu, sebaiknya dilihat dari berbagai dimensi. Tindakan SBY itu bisa ditafsirkan dan dianalisa secara berbeda-beda, tergantung pihak yang berkomentar, misalnya pihak pemerintah, pihak Ratu Belanda, atau pihak RMS. "Tapi saya yakin Ratu Belanda juga tidak enak dengan SBY," kata Komarudin.
Sebuah pembatalan lawatan juga merupakan hal yang biasa. Sama halnya ketika Obama dua kali membatalkan kunjungannya ke Indonesia. Semua tergantung pada penafsirannya.
Lalu dari sisi gugatan RMS, Komarudin melihat Belanda sebagai negara yang sangat berdemokrasi. Sehingga sekelompok kecil RMS bisa bebas bersuara. Akan tetapi sesuai dengan informasi yang didapatkannya, masyarakat Belansa sendiri tidak begitu peduli dengan RMS. "Tapi tidak ada salahnya Presiden SBY berhati-hati," ujarnya.
Kemudian terkait ancaman demo, Komarudin menganggap bahwa demo kepada kepala negara sudah biasa terjadi. "Kalau soal demo sepertinya tidak aneh, yang penting ada jaminan keamanan," katanya