REPUBLIKA.CO.ID, BALI--Ditekannya nilai tukar mata uang sejumlah negara dalam level rendah atau kerap disebut 'perang kurs', kian memperparah daya saing industri dalam negeri. Menurut Deputi Kementrian Koordinator Perekonomian Bidang Makro dan Keuangan, Erlangga Mantik, dengan nilai mata uang asing yang rendah, sedangkan nilai tukar rupiah menguat maka keuntungan dari pengusaha khususnya eksportir akan semakin berkurang.
''Perang kurs membuat daya saing kita jadi parah, Misalkan dulu harga satu pensil (untuk ekspor) itu satu dolar atau sama dengan 11 ribu rupiah. Sekarang jadi Rp 8.900 per dolar, kurangnya dua ribu rupiah, luar biasa pengaruhnya,'' kata Erlangga, dalam sosialisasi kebijakan peningkatan kualitas produk Indonesia, di Bali, Kamis (14/10).
Harus diakui, lanjut dia, sejumlah negara lebih memilih untuk menekan mata uangnya dalam nilai yang rendah. Hal itu membuat kemampuan ekspor mereka bisa jauh lebih bersaing karena harga barang mereka bisa lebih murah. ''Sekarang ini semua negara saling berebut untuk mengekspansi kemampuan ekspornya,'' ujarnyaa.
Sebut saja Cina, meski International Monetary Fund (IMF) telah menekan negara tirai bambu itu untuk melepas nilai mata uangnya, nyatanya mereka tetap enggan. Cina selalu mengatakan kebijakan itu akan dilakukan secara bertahap. ''Mereka belajar dari Jepang,'' ujarnya.
Selain masalah kurs, lanjut Erlangga, salah satu kelemahan daya saing Indonesia yakni bunga pembiayaannya yang cukup tingg. Suku bunga di kita ini masih dua digit, sedangkan negara-negara lain hanya satu digit.