REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Salah satu bentuk nyata lain masuknya kepentingan asing dalam pengelolaan aset negara yakni pada Undang-Undang Migas. Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Edi Swasono pembentukan Undang-Undang Migas merupakan bentuk dari kejahatan moral.
Ia juga menegaskan, tidak ada kejahatan secanggih yang dilakukan dalam UU Migas tersebut. "Bagaimana tidak dulu sebelum Undang-Undang Dasar itu di amandemen, RUU Migas sudah ada dan bunyinya dalam konsideran yakni penetapaan RUU Migas sesuai dengan ayat 2 pasal 33 Undang-Undang Dasar. Padahal itu belum ada perubahan," tutur Edi.
Ironisnya, kata dia, bunyi konsideran itu tetap ada meski Pasal 33 itu tidak berubah. "Ini yang akan kami ajukan class action ke MK," katanya dalam diskusi Investasi Asing dan Nasionalisme Indonesia : Indonesia Tidak untuk Dijual, di Jakarta, Senin ( 8/11).
Sementara pengamat Perminyakan Kurtubi mengungkapkan UU migas itu melanggar Undang-Undang Dasar karena konsepnya yang menganut sistem konsesi. Investor mengelola secara langsung wilayah pertambangan, sementara pemerintah mendapat royalti dan penerimaan dari pajak.
"Jadi hubungan bisnis to government. Government diwakili oleh BP Migas. Seharusnya tidak demikian tapi melalui Bisnis to Bisnis," jelasnnya.
Bisnis to Bisnis yang dimaksud yakni dengan memberdayakan pertamina sebagai BUMN Migas. Dengan demikian daya tawar harganya akan semakin baik. "Pertamina yang berhubungan dengan Investor. Jadi BP Migas itu tidak diperlukan. dibubarkan saja," terangnya.
Kurtubi mencontohkan salah satu lemahnya daya tawar pemerintah terhadap asing itu, yakni dalam pengelolaan kontrak gas tangguh yang dibayar dengan murah ke China. "Harga gas Tangguh ke Fujian (Cina) hanya 3,35 dolar AS per MMBTU (juta British Termal Unit), sementara gas Badak dijual ke Jepang sampai 13 dolar AS per MMBTU," ungkapnya.