Sabtu 13 Nov 2010 05:58 WIB

Penetapan Idul Adha Arab Saudi Dinilai Kontroversial

Rep: cr1/ Red: Arif Supriyono
Prof Dr Thomas Djamaluddin
Prof Dr Thomas Djamaluddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Keputusan Mahkamah Agung Kerajaan Arab Saudi yang menetapkan 1 Dzulhijjah 1431 jatuh pada Ahad (7/11) dan Idul Adha 10 Dzulhijjah bertepatan Selasa (16/11) dianggap kontroversial.  Menurut, peneliti astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, hilal awal Dzulhijjah pada Sabtu (6/11) mustahil terlihat.

Dia menjelaskan posisi hilal di Arab Saudi hanya 2 derjat dan berumur kurang dari 13 jam. "Tampaknya faktor ini tidak diperhatikan oleh Arab Saudi," kata Thomas di Jakarta, Jumat (12/11)

Dia  mengatakan penetapan tersebut hanya berdasarkan kesaksian individu masyarakat yang melihat hilal saat itu. Namun, naifnya, kesaksian ini tak dicek silang lebih lanjut ke data ilmiah. Bahkan, tuturnya, ini tidak menyebutkan identitas saksi sebagaimana yang berlaku di Indonesia.

Thomas menduga saksi yang bersangkutan salah mengamati hilal dan ada kemungkinan objek lain yang dimaksud. Peristiwa serupa pernah terjadi pada 2005 silam. Terungkap, bahwa saksi yang dijadikan rujukan rukyat hilal adalah pria berusia lanjut. Anehnya, selama bertahun-tahun saksi tersebut tak pernah tergantikan. Padahal, diprediksikan sebelumnya, awal Dzulhijjah dan Idul Adha tak akan terjadi perbedaan antara Arab Saudi dan Indonesia.

Karenanya, ujar Thomas, berbagai upaya telah dilakukan oleh sejumlah astronom Muslim internasional untuk mendekati pemerintah Arab Saudi. Tujuannya untuk memberikan masukan tentang pentingnya kriteria ilmiah dalam pengamatan hilal. Namun demikian, keputusan Mahkamah Agung tersebut tetap sah jika ditinjau dari kacamata syariat.

Hasil keputusan itu merupakan ijtihad fikih yang sah dan benar menurut syariat, meskipun tidak dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. "Saya menyebutnya hilal syar'i bukan hilal 'ilmi," kilahnya.

Menurut Thomas, perbedaan penentuan Idul Adha yang terjadi di Indonesia akibat perbedaan persepsi tentang pemaknaan hari Arafah. Sebagian kalangan beranggapan, hari Arafah adalah waktu pelaksanaan wukuf oleh jamaah haji di Arafah yang ketentuannya mengacu pada ketetapan pemerintah Arab Saudi. Sedangkan kalanga lain memandang Arafah tak terkait dengan wukuf, akan tetapi hari ke sembilan Dzulhijjah sesuai dengan garis dan keberadaan wilayah masing-masing.

Dengan demikian, kata Thomas, penentuannya tak perlu mengacu hasil ketetapan Arab Saudi. Pendapat terakhir banyak diikuti oleh negara-negar Asia Tenggara, di antaranya Indonesia, Malaysia, dan Brunei. "Perbedaan ini harus dipahami betul oleh umat Islam agar bisa disikapi secara arif dan bijaksana," paparnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement