REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dialog antaragama bukan hal baru di Indonesia walaupun momentumnya baru meningkat khususnya sejak awal 1970an, ketika pemerintahan Soeharto ingin menciptakan stabilitas keamanan dan politik bagi terselenggaranya pembangunan nasional. Selama berabad-abad kaum Muslimin Indonesia hidup damai dengan berbagai komunitas non-Muslim.
Ketegangan dan gangguan bisa terjadi suatu waktu di daerah dan lokasi tertentu. Akan tetapi jelas, gangguan dan bahkan kekerasan antaragama tidak pernah menyebar ke daerah-daerah lain sehingga konflik dan kekerasan antaragama dalam skala luas tidak pernah terjadi di Tanah Air.
Bagaimanapun potensi ketegangan dan konflik antar (dan juga intra) agama tetap ada. Dalam beberapa bulan terakhir, kasus penolakan pembangunan gereja di Bekasi dan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah sering diangkat media dalam dan luar negeri. Akhir pekan lalu, Al-Jazeera TV, misalnya, dalam wawancara dengan saya mengungkapkan kecemasannya tentang masa depan kerukunan dan harmoni antaragama di Indonesia.
Bagi saya, kasus-kasus `terpencil' (isolated cases) itu mesti dicermati, meski tak perlu menyimpulkan secara ngebyah uyah bahwa toleransi antaragama di Indonesia telah pudar.
Pada saat yang sama, orang tidak perlu memendam exaggerated fear-ketakutan berlebihan, seolah tiada lagi masa depan kerukunan agama di negeri ini. Bagi saya, Indonesia tetap merupakan negeri di mana toleransi dan kerukunan antar dan intraagama terus bertahan.
Meski demikian, kerukunan umat beragama mesti tidak dianggap telah selesai. Berbarengan dengan berlanjutnya disorientasi dan disrupsi sosial dan inkonsistensi aparat keamanan dan pemerintah dalam mencegah konflik antarumat beragama, potensi ketidakrukunan itu tetap ada.
Paling jelas, ketegangan dan konflik itu terlihat terutama menyangkut pembangunan rumah ibadah. Terdapat kecenderungan kuat, kelompok minoritas sulit membangun rumah ibadah masing-masing di wilayah mayoritas umat beragama tertentu.
Hal tersebut, misalnya, terlihat dalam kesulitan non-Muslim, khususnya Kristiani membangun gereja di lingkungan perkampungan dan kawasan mayoritas Muslim. Begitu juga sebaliknya; kaum Muslimin juga menghadapi kesulitan yang sama ketika ingin membangun masjid atau mushala di wilayah-wilayah di mana mereka minoritas.
Gejala ini merupakan refleksi kecemasan psikologis keagamaan. Dalam perspektif mayoritas, kehadiran kelompok umat beragama lain--yang secara simbolis tecermin dengan rumah ibadahnya--dipandang buka hanya menimbulkan disrupsi dan intrusi sosial, melainkan sekaligus menciptakan gangguan psikologis keagamaan. Ketakutan-ketakutan keagamaan seperti ini tidak selalu terungkapkan, tetapi bisa dirasakan masing-masing komunitas umat beragama.
Ketakutan dan kecurigaan timbal balik di antara komunitas-komunitas umat beragama berbeda merupakan potensi laten yang terus bertahan di dalam psike mereka masing-masing.
Suasana psikologi yang tidak kondusif ini harus diatasi, jika kerukunan antarumat beragama berbeda dapat dipertahankan dan diperkuat.
Oleh karena itu, pendekatan dan cara yang harus ditempuh adalah dialog antar (dan juga intra) agama yang jujur, terus terang, dan berani. Bagi saya, kesempatan ini datang sehari setelah Idul Adha pekan lalu ketika menjadi narasumber dalam Kongres XIV The Southeast Asia Major Superiors (SEAMS)--sebuah ordo para pastur, bruder, dan suster Katolik. Mereka ingin berdialog secara terus terang, seperti mereka katakan dalam surat kepada saya: "Sebagai tokoh Muslim, [kami ingin tahu bagaimana] biasanya kami ini (pastur, bruder, dan suster) dikenali dan dikritik.
Apa yang biasanya ada di dalam pikiran dan hati orang Muslim bila mendengar tentang kami dengan identitas seperti itu, dan bila berjumpa dengan kami dalam bermasyarakat dan berbangsa; bagaimana sesungguhnya perspektif dan `hambatan' kaum Muslimin dalam dialog antaragama?
Merespons permintaan ini, jelas Islam sangat menganjurkan dialog antra (dan intra) agama dalam rangka membangun bumi Allah dan kemanusiaan lebih baik. Selanjutnya, bagi saya, jika mau terus terang, terdapat kecurigaan kaum Muslimin bahwa banyak kalangan dan denominasi Kristiani selalu berusaha mengkristenkan umat Islam dengan berbagai cara, termasuk yang tidak fair, memanfaatkan keterbelakangan dan kefakiran komunitas Muslim. Sebaliknya, umat Kristiani terus curiga umat Islam selalu berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan menerapkan `syariah' yang mengancam eksistensi mereka.
Kecurigaan timbal balik ini tidak mudah dilenyapkan karena telah bertahan begitu lama. Namun, kecurigaan-kecurigaan itu bisa dikurangi-- jika tidak dapat dihilangkan sama sekali-- dengan mengembangkan keterbukaan dan praksis keagamaan yang senantiasa mempertimbangkan sensitivitas masingmasing umat beragama. Jika ini bisa dilakukan, niscaya umat beragama Indonesia yang majemuk dapat terus memperkuat kerukunan dan harmoni, yang pasti merupakan kontribusi sangat penting bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.