REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK--Pemungutan suara di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meloloskan resolusi kecaman terhadap penodaan agama. Namun, perbedaan pandang masih belum tuntas. Negara-negara Islam tetap kukuh bahwa resolusi ini sangat penting. Sebaliknya, negara-negara Barat menganggapnya sebagai ancaman bagi kebebasan berekspresi.
Dalam pemungutan yang diselenggarakan sebuah komite khusus Majelis Umum PBB pada Selasa (23/11), sebanyak 76 negara mendukung resolusi, sedangkan 64 lainnya menentang. SeliSihnya hanya 12 suara. Sementara itu, 42 negara menyatakan abstain. Meski meraih dukungan mayoritas, dukungan ini menyusut dibandingkan tahun lalu.
Tahun sebelumnya, sebanyak 81 negara menyokong resolusi dan 55 lainnya menentang. Sebanyak 43 negara abstain. Diharapkan, resolusi yang tak mengikat ini secara resmi diadopsi pada bulan depan. Sebenarnya, upaya mendulang dukungan lebih banyak sudah ditempuh.
Negara-negara penyokong mengamendemen rancangan resolusi dengan pilihan kata yang diyakini bisa diterima semua pihak, terutama negara-negara Barat yang mempunyai kekuatan dan pengaruh besar. Salah satunya, “Mengecam tindakan kekerasan dan intimidasi atas dasar Islamofobia, Judeo fobia, dan Kristianofobia.”
Resolusi yang lolos pada tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya hanya fokus pada Islam karena dianggap sering menjadi objek penghinaan dan penodaan agama. Meski sudah ada perubahan, sayangnya negara besar, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa serta sekutunya, menolak resolusi itu.
Teks resolusi yang diserahkan oleh Maroko atas nama negara-negara Islam menyatakan, mendesak semua negara memberikan dukungan terhadap tindakan yang menentang penodaan agama dan memicu kebencian terhadap agama tertentu yang terkadang mengakibatkan kekerasan dan intimidasi.
Wakil dari AS, John Sammis, menganggap amendemen terhadap rancangan resolusi itu tak memadai. Menurut dia, pihaknya menyesalkan karena, seiring usaha dan diskusi menyempurnakan resolusi, namun teks yang diajukan jauh dari itu. “Perubahan dalam teks itu tak sesuai dengan apa yang kami inginkan,” katanya.
Menurut dia, resolusi itu akan melahirkan implikasi negatif, tak hanya bagi kebebasan beragama, tetapi juga kebebasan berekspresi. Ia menambahkan, argumennya kurang tepat jika menerapkan aturan tentang HAM yang berlaku internasional dalam kasus keyakinan agama. Sebab, aturan itu lebih mengarah pada perlindungan terhadap individu, bukan pemerintahan atau agama.
Mereka yang sealiran juga menyampaikan pandangan yang hampir sama. Pamela Kling Takiff dari Human Rights First, kelompok advo kasi berbasis di AS, memandang resolusi itu gagal mengakui pentingnya kebebasan berekspresi.
Ketua US Commission on International Religious Freedom, Leonard Leo, menge luar kan pernyataan yang menyambut baik turunnya jumlah pendukung resolusi tersebut. Ia mengatakan, setiap tahun makin banyak negara yang menerapkan undang-undang yang melindungi dari penodaan agama.
Undang-undang itu, jelas dia, justru menimbulkan adanya intoleransi dan pelanggaran terhadap HAM. Argumen berbeda disampaikan oleh perwakilan negara-negara Islam. Mereka menegaskan, resolusi tak bertujuan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berbicara.
"Kami berharap, resolusi ini mampu menghentikan publikasi, seperti kartun Nabi Muhammad di Denmark. Kartun itu memicu unjuk rasa Muslim di seluruh dunia pada 2005 lalu," kata mereka. Pemerintah Denmark saat itu menyatakan keprihatinannya, Sayang mereka tak bisa menindak karena pembuatan kartun dianggap kebebasan berekspresi.