REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pengajar senior Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI), Chatib Basri mengatakan perlu adanya diversifikasi produk ekspor Indonesia yang dalam kurun waktu 10 tahun ini tidak mengalami inovasi yang signifikan, di Jakarta, Senin (29/11).
Dalam seminar "Strategi Globalisasi Perekonomian Indonesia" yang digelar oleh FE UI, ia menyebutkan, 70 persen ekspor Indonesia dari komoditas bahan mentah. Indonesia, ujarnya, belum memasuki industri manufaktur. "Itu terkait dengan kekayaan sumber daya manusia yang belum dikelola secara penuh," imbuhnya.
"Dalam hal ekspor, Indonesia menjual produk yang sama kepada pangsa pasar yang sama pula. Dalam artian, tidak ada inovasi ke sektor lain," ujarnya. Ia mengatakan perlu dilakukan diversifikasi produk ekspor karena jika terjadi krisis global tidak akan berdampak besar bagi kelangsungan ekspor yang mumpuni.
"Ketika Indonesia memperbanyak jenis produk yang diekspor, maka pangsa pasar juga menjadi semakin banyak,"ujarnya. Saat ini, pangsa ekspor Indonesia di Asia hanya 11,2 persen, hanya berada di atas Vietnam yang memiliki pangsa 10,8 persen dan jauh di bawah China di 20,1 persen.
Chatib menilai, Indonesia lebih berorientasi pada perekonomian domestik. Pada tahun 90an Indonesia sudah pernah melakukan diversifikasi produk ekspor, dari migas ke non-migas. Namun, data Bank Indonesia menunjukan kemajuan diversifikasi ekspor Indonesia sangatlah lamban.
Salah satu alasannya ialah karena terjadinya apresiasi nilai tukar. "Menguatnya rupiah saat ini justru akan memperlambat laju ekspor. Penting bagi pemerintah untuk melakukan devaluasi, agar nilai tukar tetap kompetitif, sehingga tidak mematikan laju ekspor Indonesia," tandasnya.