REPUBLIKA.CO.ID,OKLAHOMA--Vicky Miles-LaGrange menetapkan putusan, Senin (29/11). Hakim federal ini mengeblok sementara amendemen konstitusi yang dikenal dengan State Question 755 untuk diberlakukan secara efektif. Langkah Miles-LaGrange menjadi berita sukacita bagi Muslim di Oklahoma, Amerika Serikat (AS).
Melalui putusan ini, ia melarang Komisi Pemilu mengesahkan amendemen hingga ia menetapkan putusan final. Ia belum memastikan kapan mengeluarkan putusan akhir mengenai hal itu. Amendemen disepakati melalui referendum pada awal November lalu yang didukung sebanyak 70 persen suara.
Bersandar pada hasil referendum itu, hakim di negara bagian tersebut dilarang menggunakan hukum Islam atau internasional sebagai pertimbangan dalam membuat putusan. Hal ini menjadi perdebatan sengit. Muslim mengatakan, amendemen merupakan sikap diskriminatif terhadap keyakinan mereka.
Sebaliknya, para pendukung yang kebanyakan Kristen konservatif berargumen bahwa amendemen diperlukan untuk mencegah Muslim radikal memberlakukan hukum syariah di Amerika. "Melalui amendemen, negara bagian menyampaikan pesan bahwa mereka lebih mengistimewakan satu agama dibandingkan agama lainnya," kata Miles-LaGrange.
Pengadilan federal telah lama menentang pesan semacam itu karena bertentangan dengan First Amendment. Ia mengaku butuh tambahan waktu untuk menetapkan putusan atas keluhan Muslim yang mengatakan bahwa larangan penggunaan hukum Islam melanggar hak Muslim atas kebebasan dalam beragama.
Putusan Miles-LaGrange bermula dari gugatan yang disampaikan Muneer Awad, direktur eksekutif Council on American-Islamic Relations (CAIR) di Oklahoma, yang menganggap amendemen akan berdampak pada setiap aspek kehidupannya sebagai seorang Muslim.
Maka itu, dalam putusannya, Hakim Miles-LaGrange menegaskan, kebebasan beragama Awad akan dilanggar jika amendemen konstitusi itu disahkan. Dalam putusannya, ia menyatakan kesepakatannya dengan pandangan Awad mengenai definisi hukum syariah yang berbeda-beda tergantung negara tempat Muslim tinggal dan pada keyakinan masing-masing Muslim itu sendiri.
Ia mencatat satu aturan dalam hukum Islam yang dimentahkan oleh hukum di sebuah negara seperti di AS. Ini menjelaskan, ujar dia, mengapa Muslim Amerika tak biasa menjalankan praktik untuk beristri dua walaupun Alquran membolehkannya.
Dalam kesaksiannya di pengadilan, Awad menyatakan, amendemen mestinya tak diberlakukan karena konsep hukum syariah dipandang secara berbeda-beda oleh setiap orang. Ia menambahkan, saat amendemen berlaku, pengadilan tak mungkin melaksanakan keinginan dan wasiatnya agar dimakamkan dengan cara-cara Islam.
Maka itu, ia sangat gembira dengan putusan yang ditetapkan Miles-LaGrange. "Kami menyambut baik putusan ini dan kesempatan bagi Muslim Oklahoma menikmati hak beragama yang diberikan kepada setiap warga AS," kata Awad. "Hakim mengakui, suara mayoritas tak bisa begitu saja menggusur hak konstitusional saya."
Rex Duncan, anggota parlemen dari Republik yang juga merumuskan amendemen, mengatakan, hal itu tak dimaksudkan sebagai serangan terhadap Muslim, tetapi upaya antisipasi untuk mencegah penerapan hukum syariah. Di sisi lain, sejak gugatan diajukan oleh Awad, masjid-masjid utama di Tulsa dan Oklahoma City dibanjiri surat kebencian.
Salah satunya adalah video yang memperlihatkan seorang pria menghancurkan masjid. Imad Enchassi, imam di Islamic Society of Greater Oklahoma City, menegaskan, putusan hakim menunjukkan bahwa kehendak banyak orang tak selalu bersifat adil. "Kehendak itu dimanipulasi oleh kampanye berdana besar yang sarat kebencian dan xenofobia."
Selama referendum berlangsung, sebuah lembaga nirlaba di Florida, Act! For America, membelanjakan dana besar untuk membiayai iklan radio berdurasi satu menit yang mendorong warga mendukung amendemen. Lembaga ini juga membiayai 600 ribu panggilan telepon, terutama untuk pemilih yang kemungkinan bisa dipengaruhi.
Ini berisi rekaman suara mantan direktur badan intelijen AS CIA Jim Woolsey serta warga asli Oklahoma yang mendorong adanya amendemen konstitusi.