REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--RUU Keistimewaan Yogyakarta itegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai bentuk penghormatan bagi status istimewa Yogyakarta. "RUU itu bukan hanya untuk mengatur kepemimpinan Sri Sultan dan Paduka Sri Paku Alam saat ini, tapi juga kepemimpinan di kelak kemudian hari, karena UU itu harus berlaku ke depan dan tidak situasional," ujarnya.
RUU itu pun, katanya, belum final, karena nantinya DPR yang akan membahas dan memutuskan. "Pemerintah hanya melaksanakan fungsi konstitusional yang diembannya, yaitu menyiapkan RUU itu untuk dibashas," tambahnya.
Ia berharap, apapun keputsan yang nantinya diambil, adalah baik dan tepat bagi warga DIY dan juga NKRI. Dalam proses pembahasan nanti, Sri Sultan dan Paduka Sri Paku Alam akan menjadi salah satu nara sumber utama yang akan dimintai pendapat.
Menurutnya, dari aspek kesejarahan dalam penyusunan RUU, pemerintah memperhatikan dimensi kesejarahan dari masa ke masa. Antara lain sejarah bergabungnya pakualaman ke NKRI pada era Soekarno, saat duet Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Paduka Sri Paku Alam VIII memerintah Yogya. "Apalagi saya juga pernah menjadi bagian dari Muspida di Yogyakarta pada tahun 1995," ujarnya.
menurutnya, RUU Keistimewaan Yogyakarta berisi tiga pilar utama yang harus ditegakkan, yaitu sistem nasional dan NKRI, keistimewaan Yogyakarta, dan implementasi dari nilai dan sistem demokrasi.
Ia juga meminta pihak yang pro penetapan gubernur/wakil gubernur melalui pemilu untuk melihat UUD 1945 pasal 18 b ayat 1 dan pihak yang pro penetapan gubernur/wakil gubernur seperti saat ini (duet Sultan-paku Alam) untuk mencermati UUD 1945 pasal 18 ayat 4. "Silakan kedua alternatif itu dicocokkan dengan UUD," ujarnya.