REPUBLIKA.CO.ID,KAMPALA--Polisi Uganda menyita sebuah bungkusan berisi bahan yang diduga untuk membuat bom di sebuah bis yang tiba di Kampala, ibukota negara itu, dari Kenya, Jumat, kata seorang pejabat bea cukai.
Bungkusan itu disita di sebuah pos bea cukai dimana bis-bis yang datang dari negara tetangga diperiksa oleh aparat Dinas Perpajakan Uganda (URA), yang kantornya dikosongkan beberapa jam terkait dengan insiden tersebut.
"Ditemukan sebuah bungkusan mencurigakan yang berisi bahan pembuat bom, yang diperkirakan polisi bisa digunakan untuk membuat bom," kata juru bicara URA Paul Kyeyune kepada Reuters. "Polisi telah membawa barang-brang itu untuk pemeriksaan lebih lanjut," tambahnya.
Juru bicara kepolisian Vincent Ssekate mengatakan kepada Reuters, detektif melacak bis itu setelah memperoleh informasi intelijen, sebelum menyergapnya di tempat pemeriksaan. Ia mengkonfirmasi bahwa beberapa barang dibawa dari bis itu untuk diperiksa dan polisi masih menginterogasi supir bis tersebut. Tidak jelas dari daerah Kenya mana bis itu berangkat.
Baik Kenya maupun Uganda sama-sama meningkatkan pengamanan setelah serangan-serangan mematikan. Polisi Kenya menangkap 346 warga asing di Nairobi dalam operasi besar-besaran setelah dua serangan granat dan penembakan pekan lalu menewaskan tiga polisi, kata sejumlah pejabat, Senin (6/12).
Serangan pertama terjadi di Eastleigh, daerah pinggiran Nairobi yang dihuni oleh banyak orang Somalia, ketika sejumlah orang tak dikenal melemparkan granat ke sebuah kendaraan polisi, yang menewaskan satu aparat.
Dalam serangan kedua, dua orang menembak mati dua polisi lalu-lintas. Anthony Kibuchi, kepala kepolisian provinsi Nairobi, mengatakan kepada Reuters, 52 dari mereka yang ditangkap adalah warga Ethiopia, sementara sisanya orang-orang keturunan Somalia.
Sejumlah analis mengatakan, simpatisan kelompok gerilya Somalia Al-Shabaab mungkin mendalangi serangan-serangan pada Jumat (3/12) itu. Polisi Kenya mengatakan, mereka telah meminta bantuan Biro Penyelidik Federal AS (FBI) untuk membantu menyelidiki serangan-serangan itu.
FBI juga membantu negara tetangga Kenya, Uganda, menyelidiki serangan bom mematikan oleh gerilyawan Al-Shabaab di Kampala pada Juli. Investor asing di Kenya, ekonomi terbesar Afrika yang berbagi perbatasan dengan Somalia, menyebut gerilyawan muslim garis keras di negara tetangga itu sebagai kekhawatiran serius.
Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Penculikan, kekerasan mematikan dan perompakan melanda negara tersebut. Al-Shabaab dan kelompok gerilya garis keras lain ingin memberlakukan hukum sharia yang ketat di Somalia dan juga telah melakukan eksekusi-eksekusi, pelemparan batu dan amputasi di wilayah selatan dan tengah.
Nama Al-Shabaab mencuat setelah serangan mematikan di Kampala pada Juli lalu. Para pejabat AS mengatakan, kelompok Al-Shabaab bisa menimbulkan ancaman global yang lebih luas. Al-Shabaab, kelompok muslim garis keras yang menguasai sebagian besar wilayah tengah dan tengah Somalia, mengklaim bertanggung jawab atas serangan di Kampala, ibukota Uganda, pada 11 Juli yang menewaskan 76 orang.
Pemboman itu merupakan serangan terburuk di Afrika timur sejak pemboman 1998 terhadap kedutaan besar AS di Nairobi dan Dar es Salaam yang diklaim oleh Al-Qaeda. Serangan-serangan bom pada 11 Juli itu dilakukan di sebuah restoran dan sebuah tempat minum yang ramai di Kampala ketika orang sedang menyaksikan siaran final Piala Dunia di Afrika Selatan.
Uganda adalah negara pertama yang menempatkan pasukan di Somalia pada awal 2007 untuk misi Uni Afrika yang bertujuan melindungi pemerintah sementara dari Al-Shabaab dan sekutu mereka yang berhaluan keras di negara Tanduk Afrika tersebut. Washington menyebut Al-Shabaab sebagai sebuah organisasi teroris yang memiliki hubungan dekat dengan jaringan al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Milisi garis Al-Shabaab dan sekutunya, Hezb al-Islam, berusaha menggulingkan pemerintah Presiden Sharif Ahmed ketika mereka meluncurkan ofensif mematikan pada Mei tahun lalu. Mereka menghadapi perlawanan sengit dari kelompok milisi pro-pemerintah yang menentang pemberlakuan hukum Islam yang ketat di wilayah Somalia tengah dan selatan yang mereka kuasai.