REPUBLIKA.CO.ID,FALLUJA--Serangan bom mobil bunuh diri Minggu menewaskan 13 orang dan melukai puluhan di dekat kantor pemerintah di Ramadi, kota Irak yang berpenduduk mayoritas Sunni, kata beberapa sumber rumah sakit dan polisi. Serangan itu terjadi ketika para pemimpin politik berusaha membentuk pemerintah baru dan hanya beberapa hari sebelum perayaan Syiah.
Seorang polisi dan sumber rumah sakit mengatakan, 13 orang tewas dan 41 cedera dalam ledakan itu, yang terjadi di provinsi Anbar, Irak barat, yang pernah menjadi pangkalan kelompok militan Al-Qaeda. Hikmet Khalaf, wakil gubernur Anbar, mengatakan bahwa pemboman itu, yang terjadi di Ramadi pusat, sekitar 100 kilometer sebelah barat Baghdad, ditujukan pada sebuah kompleks perkantoran dewan provinsi. Ia menyebut jumlah kematian tujuh dan korban cedera 25.
"Bom itu meledak di sebuah perempatan jalan yang ramai. Ada kendaraan sipil yang sedang lewat dan itu juga merupakan pintu gerbang menuju perkantoran utama pemerintah," kata Khalaf.
Ia menuduh Al-Qaeda bertanggung jawab atas serangan bom mobil itu.
Irak tidak memiliki pemerintah baru sejak pemilihan umum pada Maret dan kelompok-kelompok utama berselisih sebelum mencapai sebuah kesepakatan bulan lalu yang melibatkan semua partai.
Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki ditugasi secara resmi pada 25 November membentuk kabinet dan memiliki waktu 30 hari untuk menyerahkan daftar menteri sesuai dengan aturan konstitusi.
Pemboman Minggu itu merupakan yang terakhir dari rangkaian kekerasan yang meningkat lagi di Irak dan terjadi beberapa bulan setelah penarikan pasukan AS. Ratusan orang tewas dalam gelombang kekerasan terakhir di Irak, termasuk sejumlah besar polisi Irak, namun AS tetap melanjutkan penarikan pasukan dari negara itu.
Meski kekerasan tidak seperti pada 2006-2007 ketika konflik sektarian berkobar mengiringi kekerasan anti-AS, sekitar 300 orang tewas setiap bulan tahun ini, dan Juli merupakan tahun paling mematikan sejak Mei 2008. Militer AS menyelesaikan penarikan pasukan secara besar-besaran pada akhir Agustus, yang diumumkannya sebagai akhir dari misi tempur di Irak, dan setelah penarikan itu jumlah prajurit AS di Irak menjadi sekitar 50.000.
Penarikan brigade tempur terakhir AS dipuji sebagai momen simbolis bagi keberadaan kontroversial AS di Irak, lebih dari tujuh tahun setelah invasi untuk mendongkel Saddam.
Namun, pasukan AS terus melakukan operasi gabungan dengan pasukan Irak dan gerilyawan Kurdi Peshmerga di provinsi-provinsi Diyala, Nineveh dan Kirkuk dengan pengaturan keamanan bersama di luar misi reguler militer AS di Irak.
Para pejabat AS dan Irak telah memperingatkan bahaya peningkatan serangan ketika negosiasi mengenai pembentukan pemerintah baru Irak tersendat-sendat, beberapa bulan setelah pemilihan umum parlemen di negara itu. Jumlah warga sipil yang tewas dalam pemboman dan kekerasan lain pada Juli naik menjadi 396 dari 204 pada bulan sebelumnya, menurut data pemerintah Irak.
Sebanyak 284 orang -- 204 warga sipil, 50 polisi dan 30 prajurit -- tewas pada Juni, kata kementerian-kementerian kesehatan, pertahanan dan dalam negeri di Baghdad kepada AFP.
Menurut data pemerintah, 337 orang tewas dalam kekerasan pada Mei.
Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni 2009 telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda. Gerilyawan yang terkait dengan Al-Qaeda kini tampaknya menantang prajurit dan polisi Irak ketika AS mengurangi jumlah pasukan menjadi 50.000 prajurit pada 1 September 2010, dari sekitar 170.000 pada puncaknya tiga tahun lalu.