REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG--Pemerhati masalah Laut Timor, Ferdi Tanoni ,menegaskan Australia tidak boleh lepas tangan atas bencana ledakan sumur minyak Montara pada 21 Agustus 2009 yang telah mencemari sebagian besar wilayah perairan Indonesia. "Akibat dari pencemaran tersebut, ribuan nelayan dan petani rumput laut di persisir pulau-pulau Nusa Tenggara Timur (NTT) telah kehilangan mata pencaharian. Atas dasar itu, Australia tidak boleh lepas tangan dalam menyikapi tragedi Montara," kata Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) di Kupang, Senin.
Ia mengemukakan hal ini menanggapi pernyataan Menteri Luar Negeri Australia Kevin Rudd di Bali, Rabu (9/12), pekan lalu, yang menyatakan bahwa masalah pencemaran Laut Timor akibat tumpahan minyak adalah urusan antara Indonesia dan perusahaan penyebab pencemaran, PTTEP Australasia.
"Kami (Pemerintah Australia) tidak mau campur tangan. Silakan saja kalau pemerintah Indonesia mau mengambil langkah apa pun terhadap perusahaan itu, dengan menggunakan bukti-bukti apa pun yang dimiliki Indonesia," kata Rudd kepada wartawan.
Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia melukiskan pernyataan mantan Perdana Menteri Australia itu sebagai sebuah tindakan "cuci tangan" Australia terhadap bencana lingkungan dan kemanusiaan yang maha dahsyat di abad ini.
"Yang harus bertanggungjawab terhadap bencana pencemaran ini adalah pemerintah Federal Australia dan pemerintah negara bagian Australia Utara dan PTTEP Australasia," kata penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" itu menegaskan.
Tanoni menjelaskan tanggungjawab pemerintah Federal Australia terhadap masalah pencemaran tersebut, karena Otorita Keselamatan Maritim Australia (AMSA-Australia Maritime Safety Authority) menggunakan zat kimia beracun dispersant yang paling berbahaya di dunia untuk menenggelamkan tumpahan minyak ke dasar laut.
Sementara itu, PTTEP Australasia sebagai operator ladang minyak Montara harus bertanggungjawab karena lalai dalam menjalankan tugasnya sehingga menyebabkan terjadinya ledakan sumur di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009. Sedang, pemerintah negara bagian Australia Utara sebagai regulator dari ladang minyak Montara telah lalai pula menjalankan fungsi pengawasannya yang ketat mengakibatkan sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor meledak dan mencemari Laut Timor, katanya.
"Semua hal ini merupakan fakta yang tidak dapat disangkal oleh siapapun dan telah terungkap jelas dalam laporan Komisi Penyelidik Australia," ujar Tanoni. Ia juga mengecam pernyataan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang menilai pernyataan sahabatnya Kevin Rudd itu adalah hal yang wajar.
Menurut dia, Menlu Marty Natalegawa telah melemahkan posisi Indonesia menghadapi Australia dengan merendahkan martabat Bangsa Indonesia, karena dalam laporan Komisi Penyelidik Australia ada tercatat nama YPTB satu-satunya lembaga dari Indonesia yang mengajukan pengaduan.
Ia menambahkan YPTB juga mengirim sampel minyak ke Komisi Penyelidik Australia melalui Senator Rachel Siewert dari Partai Hijau, dan setelah dilakukan pengetesan oleh Leeders and Consulting (Aust) Pty Ltd, ternyata jenisnya sama dengan yang dimuntahkan dari Montara.
Tanoni mengatakan bencana Montara adalah masalah lingkungan dan kemanusian yang bersifat universal, sehingga sangat keliru bila Menlu Kevin Rudd mengatakan pemerintahannya tidak ikut bertanggungjawab atas tragedi pencemaran minyak Montara di Laut Timor.
Meskipun demikian, ia menilai pernyataan Kevin Rudd itu cukup wajar karena Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML) pimpinan Menteri Perhubungan Freddy Numberi itu, tidak pernah mengajukan pengaduan ke Komisi Penyelidik Australia tentang kasus pencemaran tersebut.