Jumat 17 Dec 2010 06:04 WIB

Penghematan BBM Bersubsi Bak Senjata Makan Tuan

Rep: Teguh Firmansyah/ Red: Djibril Muhammad
Faisal Basri
Faisal Basri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Upaya penghematan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah diharapkan jangan sampai menganggu ekspansi fiskal. Penghematan yang tidak tepat bisa menghambat pertumbuhan Indonesia mengingat terbatasnya laju ekspansi kredit di sektor perbankan (swasta).

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini sebetulnya bukan penghematan, tapi karena belanjanya tidak benar. Belanja pada Januari sampai September susah dikeluarkan, namun diakhir tahun belanjanya dihamburkan begitu saja. 

"Bukan penghematan tapi belanjanya tidak benar. Masalahnya ini kan sudah ada pengeluaran tapi kenapa pengeluarannya kecil," ujarnya usai diskusi 'Reformasi Kebijakan Moneter dan Pengawasan Bank di Indonesia Pasca Krisis Global', Kamis (16/12).

Menurut Faisal dengan rendahnya belanja tersebut membuat uang pemerintah sampai dengan Oktober kemarin mencapai Rp 150 triliun. Padahal belanja tersebut diperlukan untuk mendorong pembangunan infrastruktur. "Artinya gini, gerak sektor swasta meningkat pesat, tapi tidak mungkin bikin pabrik kalau listriknya tidak cukup," jelasnya. 

Disini, lanjut Faisal, peran pengeluaran negara sebagai vitaminnya. "Kalau vitaminnya tidak gede kan tidak datang. Itu masalahnya. Dan sisa lebih-lebih pembiayaan anggaran (Silpa) itu seakan menjadi kebanggaan. Kenapa belanjanya seret selesaikan dari awal," paparnya.

Sekedar catatan belanja negara diproyeksikan dapat terserap hingga Rp. 1.078 triliun atau 95,7 persen dari pagu belanja. Tingginya pendapatan dan penyerapan belanja yang tidak optimal tersebut membuat defisit anggaran diperkirakan hanya 1,2 sampai 1,3 persen. Dengan pencapaian pembiayaan Rp 162 triliun maka diperkirakan akan ada Silpa mencapai Rp 32,5 triliun. 

Faisal berpendapat kenaikan defisit anggaran hingga mencapai dua persen bukanlah suatu masalah. Begitupula peningkatan ratio utang terhadap produk domestik bruto . "Sekarang ini ditekan dibawah 30 persen. Padahal saya rasa 30 persen itu Its oke lah," ucapnya

Menurut Faisal upaya pemerintah untuk menekan ratio utang secara berlebihan malah dapat berbahaya. Pasalnya utang tersebut masih diperlukan buat mendorong sektor riil dalam pengelolaan sumber daya. "Diet berlebihan juga tidak baik, masa mau dibawa sampai 0 persen," ujarnya.

Kenapa harus utang lebih banyak?, Faisal menilai karena usia muda Indonesia antara 15 sampai 59 tahun masih cukup besar. "Kalau AS gak boleh banyak-banyak karena sudah banyak yang tua," ucapnya.

Disisi lain, lanjut Faisal, perlu  dilihat  kredit  perbankan yang belum berkontribusi secara maksimal terhadap perekonomian. Rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) yang baru sekitar 30 persen. Rendahnya kredit tersebut karena sektor riil tidak berjalan dengan baik. "Vietnam, itu Malaysia, Thailand itu diatas 100 persen, kita 28 persen gak ada idealnya," ujar Faisal.

Peneliti Ekonomi utama Bank Indonesia Juda Agung mengatakan credit to GDP Indonesia kini baru sekitar 28 persen. Padahal sebelum krisis mencapai 42 persen. "Penurunan ini mungkin bisa jadi karena kita sudah fokus ke stabilitas," ujarnya. Menurutnya fungsi BI kini adalah bagaimana menjaga supaya Bank tidak terlalu over optimistik kalau perekonomian baik dan pesimis pada saat ekonomi turun.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement