REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Berdasarkan hasil pemantauan selama tahun 2010, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2010 dinilai koruptif. "Hal ini terlihat dari adanya politik uang, pembagian sembako, pupuk, jilbab, tabung gas dan lainnya dalam pelaksanaan Pilkada 2010, sehingga memengaruhi pemilih," kata peneliti ICW, Apung Widadi, kepada wartawan di Kantor ICW Jakarta, Senin (20/12).
Ia menyebutkan, selama pelaksanaan Pilkada 2010 di 244 daerah terdapat 1053 kasus pembagian uang secara langsung, pembagian sembako sebanyak 326 kasus, pembagian tabung gas 47 kasus, pembagian kerudung sebanyak 39 kasus dan pembagian pupuk sebanyak 39 kasus yang dilakukan oleh tim pemenangan pasangan calon Pilkada.
Menurut dia, sebagian besar aktor korupsi Pilkada dilakukan oleh tim pemenang sebanyak 203 kasus, perangkat pemerintah sebanyak 91 kasus, "broker" suara sebanyak 59 kasus dan pasangan calon (kandidat) sebanyak 35 kasus. "Ini menunjukkan bahwa korupsi pilkada masih marak terjadi di berbagai daerah," kata Apung.
Bahkan, ia menyatakan sikap koruptif cenderung semakin tidak terkendalikan. "Hal ini karena longgarnya peraturan hukum yang mengatur pilkada, pengawasan yang sangat kurang dan juga karena sanksi yang diterapkan tidak tegas," kata Apung.
Peran pihak yang berkuasa dalam penyalahgunaan wewenang dan anggaran sangat banyak terjadi pada pilkada 2010, antara lain, pelibatan pejabat daerah sebanyak 117 kasus, penggunaan program populis APBN-APBD sebanyak 115 kasus, mobilisasi PNS sebanyak 97 kasus.
Kemudian pengunaan kendaraan dinas sebanyak 46 kasus, penggunaan rumah dinas sebanyak 39 kasus, pelibatan anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebanyak 37 kasus dan pelibatan petugas KPPS sebanyak 33 kasus.
"Ini sangat krusial karena pelanggaran terkait jabatan sudah mengarah pada indikasi korupsi," jelas Apung. ICW, imbuhya juga menemukan jumlah pemakaian Anggaran APBD/APBN untuk kepentingan kebijakan populis yang digulirkan menjelang pencoblosan.
Menurut dia, longgarnya pengaturan dana kampanye Pilkada akan memudahkan masuknya aliran dana dari sumber-sumber 'haram' ke rekening pemenangan kampanye pasangan kandidat kepala daerah. "Kondisi ini akan diperparah dengan lumpuhnya pengawasan atas dana kampanye. Bahkan, ada KPU di daerah yang tidak mengumumkan berapa dan asal dana kampanye yang diperoleh para kandidat," katanya.
Ia menilai KUPD dan Panitia Pengawas Pilkada (Panwas) sendiri masih belum bekerja secara baik, terutama dalam mengkoordinir kesiapan penyelenggara di daerah. ICW menyebutkan kelemahan dalam penyelenggaran Pilkada terletak pada UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2005.
Peneliti senior ICW, Abdullah Dahlan, menambahkan, perubahan sistem pilkada dari sistem pemilihan langsung menjadi pemilihan oleh DPRD diyakini tidak akan mampu mengikis korupsi di dalam Pilkada. "Tidak akan bisa mengikis korupsi di dalam pelaksanaan Pilkada, bila para elit/kepala daerah masih memiliki pola pikir korupsi.