REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Perbedaan pandangan terjadi di intern Partai Golkar menyikapi draft RUU Keistimewaan Yogyakarta. Sejumlah anggota setuju dengan draft yang diajukan pemerintah.
Sementara pihak lain menginginkan sistem pemerintahan DIY tidak diutak-atik. Hal ini terungkap dalam diskusi bertajuk "Pulang ke Ngayogyokarto Hadiningrat" yang digelar di kantor PP Muhammadiyah, Selasa (21/12).
Fungsionaris Golkar, Indra Jaya Piliang mengakui terjadinya perdebatan intern di dalam tubuh partai berlambang beringin itu. Dia menambahkan, perdebatan adalah hal yang wajar demi menghasilkan putusan terbaik. "Di Golkar terjadi perdebatan. Contohnya Pak Priyo (Priyo Budi Santoso) yang menyetujui penetapan, sementara Pak Idrus menginginkan pemilihan," ujar Indra saat menyampaikan pandangannya.
Karena dasar itu pula, Golkar pun akan memperdebatkan RUUK DIY di forum koalisi. Walau pada prinsipnya mendukung, Golkar tetap kritis pada draft yang diajukan pemerintah ke DPR. "Sebagai partai koalisi, Golkar pasti mendukung pemerintah. Tapi Golkar ini juga berdebat. Ini untuk menghasilkan dialektika sebelum menghasilkan putusan bersama," ujarnya.
Permasalahan DIY, lanjut Indra, tidak sebatas persoalan pemilihan atau penetapan gubernur. Permasalahan DIY menyangkut persoalan budaya dan sosial masyarakat. "Rakyat takut kalau ada perubahan pimpinan, berubah pula segala sitem budaya. Untuk menyikapi hal ini presiden harus arif," katanya.
Fungsionaris Partai Demokrat yang hadir sebagai pembicara Ma'mun Murod menilai RUUK Yogyakarta tidak dimaksudkan untuk mereduksi keistimewaan DIY. Sebaliknya, keistimewaan merupakan ide yang tak bisa ditawar. "Sudah jelas, kalau soal keistimewaan kami semua mendukung. Ini sesuai dengan keinginan rakyat DIY," katanya.
Senada dengan Ma'mun, pengamat politik Dari CSIS, J Kristiadi menilai, keistimewaan Yogyakarta adalah hal yang tak bisa ditawar. Menurutnya, keistimewaan DIY adalah hak historis bagi daerah yang terkenal dengan gudegnya itu. "Dahulu saat proklamasi, legitimasi utama adanya Indonesia adalah pernyataan jika Yogya bergabung dengan NKRI. Padahal saat yang sama Sultan HB IX mendapat tawaran dari Belanda untuk jadi Raja Jawa. Dia lebih memilih mengorbankan keperntingan pribadi demi NKRI," ujar pria asal Yogyakarta itu mengomentari jasa historis kerajaan Yogyakarta.
Terkait masalah demokratisasi di DIY, dia memandang hal itu sudah terjadi sejak lama. Tiap Sultan Yogyakarta, selalu mengadopsi kemajuan demokrasi dalam menjalankan pemerintahan. "Begitupun Sultan HB X yang menyerahkan semuanya pada rakyat sebagai bentuk pengakuan atas kedaulatan rakyat," ujarnya.
Pengamat Politik, Maswadi Rauf mengungkap bahwa jabatan politik adalah jabatan publik yang bisa dikritik, digugat, bahkan dicopot. Ini berbeda dengan jabatan raja yang dihormati dan tak bisa diganggu gugat. Karena itu dia memandang seorang raja harus bisa dipisahkan dari politik.
"Tempatkan Sultan pada posisi yang sakral. Jabatan politik tidak seperti itu. Coba bayangkan kalau sultan didemo, digugat, bahkan diimpeach. Jadi biarkan Sultan berada di posisi terhormat dan tetap memiliki peranan penting, tapi di luar tanggung jawab politik," pungkasnya.
Sementara itu, usulan agar Sultan DIY tidak berpolitik mulai bermunculan. Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dani Anwar menilai usulan mundurnya Sultan DIY dari parpol adalah untuk mencegah kepentingan politik tertentu prihal usulan penetapan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Menurutnya usulan ini murni pendapat pribadi. Dirinya belum membahas masalah ini dalam forum DPR. "Ini murni pendapat saya. Saya mendorong agar Sultan tidak berpolitik praktis, terutama setelah ditetapkan sebagai gubertnur," kata Dani dalam keterangan pers di gedung DPR, beberapa waktu lalu.
Tidak berpolitiknya Sultan, katanya, akan mengurangi gesekan kepentingan kelompok tertentu dan menjamin keadilan bagi semua pihak. Menurutnya DIY sebagai daerah istimewa hendaknya memiliki pendekatan berbeda dalam proses penetapan DIY. Unsur politik dalam jabatan seorang gubernur harus ditekan semaksimal mungkin.
Dani menambahkan, secara resmi sikap DPD adalah tetap mendukung Keistimewaan bagi Yogyakarta dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia.