Jumat 24 Dec 2010 19:00 WIB
Rep: Agung Sasongko/ Red: Sadly Rachman
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kekerasan yang terjadi di tanah air bersumber pada pembenaran sebagian pemimpin agama melalui fatwa yang dikeluarkan. Karena itu, seharusnya fatwa-fatwa yang dikeluarkan harus memperhatikan psikologis terhadap umat. Pada akhirnya, kontrol terhadap umat harus dilakukan dengan pemimpin agama sebagai pembimbingnya. Demikian pendapat Peneliti LIPI, Asvi Warman saat berbicaea dalam Refleksi Akhir Tahun 2010 Maarif Institute : Kekerasan Berlatar Belakang Agama Mengancam Demokratisasi yang berlangsung di Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (15/12).
Asvi mencontohkan fatwa MUI tentang halalnya darah pengikut komunisme di tanah air melahirkan pembenaran aksi kekerasan terhadap pengikut komunisme. Karena itu, dia mengharapkan pemerintah bisa mengayomi masyarakat multibudaya melalui kordinasi dengan pemuka berbagai agama.
Berdasarkan temuan Aliansi Kebangsaan untuk Kerukunan Beragama (AKUR) grafik aksi kekerasan yang berlatar belakang agama di Indonesia menunjukan kenaikan yang signifikan di tahun 2010. Disebutkan Jawa Barat menjadi salah satu lumbung terjadinya kekerasan berlatar belakang agama dengan 117 kasus hingga pertengahan September 2010 lalu.
Sementara itu, dalam refreksi Akhir tahun 2010 Maarif Institute : Kekerasan Berlatar Belakang Agama Mengancam Demokratisasi menyebutkan negara sebagai pemegang mandat kekuasaan telah keliru dalam mengelola kemajemukan bangsa. Sebab itu, negara dinilai gagal melakukan fungsinya sebagai pelindung bagi warganya tanpa melihat keaneragaman yang ada. Disebutkan pula sikap intoleransi yang terjadi memunculkan reaksi-reaksi anarkis dalam kehidupan masyarakat sehingga dikhawatirkan bakal meruntuhkan bangunan kultural dan moralitas kebangsaan.
Courtesy of YouTube