REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Pemecatan terhadap panitera pengganti Mahkamah Konstitusi, Makhfud sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dianggap terlalu berlebihan. Padahal, status hukum Makhfud yang diduga menerima suap dari calon Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud belum ditetapkan.
Menurut anggota Kuasa Hukum Makhfud, Dorel Almir, pemecatan yang dilakukan oleh MK terhadap Makhfud menunjukkan sikap MK yang terlalu reaktif. MK telah menyalahi aturan hukum itu sendiri, yaitu seseorang yang belum ditetapkan status hukumnya tidak boleh dihukum.
“Mana ada orang yang belum jelas status hukum pidananya, tapi dia sudah dipecat oleh instansinya sendiri,” kata Dorel yang ditemui di sela-sela pemeriksaan Makhfud di kantor KPK, Jakarta, Selasa (4/1).
Dorel mengandaikan, jika kliennya itu ternyata tidak dibuktikan bersalah tetapi pekerjaan dan status pegawai negerinya sudah lepas. Kalau sudah demikian, MK harus bertanggung jawab terhadap keputusannya memecat Makhfud tersebut.
Seperti diberitakan, Makhfud terhitung diberhentikan sebagai panitera pengganti MK yang berstatus sebagai PNS pada 20 Desember 2010 lalu. Pemcetannya itu terkait dengan temuan tim Investigasi pimpinan Refly Harun, Pada temuan investigasi itu, Makhfud diduga menerima uang suap sebesar Rp 35 juta dari calon bupati Bengkuli Selatan Dirwan Mahmud terkait sidang sengketa pemilukada.