REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON--Amerika Serikat mengatakan menentang setiap rencana pembagian kekuasaan setelah pemilihan yang disengketakan di Pantai Gading. Washington, Selasa (4/1) kemarin mengulangi seruannya pada pemimpin bertahan Laurent Gbagbo untuk turun dari kekuasaan.
"Tidak ada pemecahan yang mengatur pembagian kekuasaan," tegas jurubicara Deplu AS Philip Crowley. "Hasil pemilihan itu jelas. Demi masa depan demokrasi di Pantai Gading dan Afrika Barat, (Gbagbo) harus mengundurkan diri," katanya.
Crowley menambahkan bahwa AS telah "memberikan isyarat pada Gbagbo bila ia ingin datang ke AS "Kami telah siap untuk membicarakan kemungkinan ini".
Seorang pejabat senior Deplu AS menyatakan ia mengerti "bahwa Prancis telah menawarinya kesempatan untuk datang ke negara itu juga. Begitu pula sejumlah negara lainnya," ia menambahkan tanpa menyebut negara lain itu.
Tawaran itu masih berlaku bagi Gbagbo untuk datang ke AS, tempat ia memiliki keluarga. Tapi tokoh pantai Gading hanya menunjukkan ketertarikan sekedarnya dalam menerima tawaran itu, kata pejabat tersebut.
Di Abuja, seorang jurubicara Alassane Ouattara--yang diakui duniaa menang dalam pemilihan presiden November di Pantai Gading, juga bersikeras bahwa Gbaggbo harus mundur untuk mengakhiri konflik lima pekan itu. Konflik telah membuat sedikitnya 179 orang telah tewas.
"Kami semua menunggu ia pergi," kata pembantu Ouattara, Ali Coulibaly, pada AFP. "Sisanya tidak menarik kami."
Komisi Pemilihan Independen Pantai Gading dan juga PBB telah menyatakan Ouattara adalah pemenang pemilihan presiden putaran kedua 28 November. Sementara dewan konstitusi negara itu mengatakan bahwa Gbagbo yang menang.
Kedua orang itu telah mengangkat sumpah sebagai presiden. Sementara Gbagbo menyatakan ada rencana intenasional untuk menggulingkannya setelah lebih dari satu dasawarsa berkuasa.
PBB menyatakan bahwa sedikitnya 179 orang telah tewas dalam kekerasan pasca-pemilihan. Tapi organisasi dunia itu tidak dapat menyelidiki serangan sepenuhnya yang menimpa personilnya.