Selasa 11 Jan 2011 02:03 WIB

Bagi Sejumlah Muslimah AS, Stereotip Negatif Sangat Mengesalkan

Wanita Muslim di New York
Foto: SHAHZADAFZAL.BLOGSPOT.COM
Wanita Muslim di New York

REPUBLIKA.CO.ID, Jumlah warga Amerika Serikat yang menyatakan diri sebagai Muslim telah bertambah dua kali lipat terhitung dari 1990 hingga 2008, demikian menurut sebuah Sensus.

Peningkatan nyata yang didongkrak dari kedatangan pengungsi Bosnia, Somalia, Myanmar dan beberapa Muslim mengubah pula wajah kota, seperti di sebuah distrik di New York, Utica. Mulai dari bekas gereja Methodis menjadi masjid di sudut jalan Court Street, hingga pasar Arab yang baru saja dibuka di James Street yang khusus melayani bahan makanan halal bagi Muslim, membuat Islam kian terlihat.

Asosiasi Muslim lokal memprediksi satu dari 10 warga di Mohawk Valley, nama kawasan di Utica, adalah pemeluk Islam. Masjid di Court Street mosque pun--yang dibuka pada Juni 2008--hadir untuk memberi ruang populasi Muslim yang kian berkembang

Sebuah masjid di Kemble Street juga mengalami perkembangan jumlah jamaah sekitar 15 hingga 20 persen setiap tahun demikian ujar pemimpin agama setempat, Ferhad Mujkic baru-baru ini. Aula utama untuk shalat hanya mampu. menampung 150 hingga 200 orang. Karena itu asosiasi perlu menyewa ruangan di gedung lain saat hari raya Islam untuk mengakomodasi lonjakan jamaah sekitar 1.000 irang yang diperkirakan hadir saat perayaan.

Tentu di antara komunitas yang berkembang itu adalah wanita Muslim. Sebagian besar dari mereka terlihat berbeda karena kerudung yang mereka kenakan, atau jilbab. Keberadaan mereka yang terlihat membuat mereka rentang diserang dengan selip pemahaman, stereotip dan juga pengabaian.

"Seorang wanita Arab di TV akan menjadi obyek, baik misteri maupun godaan," ujar warga asli Utic, James Zogby, pengarang buku “Arab Voices: What They are Saying to Us and Why it Matters.” (Suara Arab: Apa yang Mereka Katakan dan Mengapa Itu Penting)

"Ketika objek godaan hilang, apa yang anda lihat berikutnya adalah: wanita yang menjadi bawahan, dikesampingkan, tertutup dan tak punya suara, tak memiliki wajah."

Namun wanita Islam bukan tanpa wajah. Mereka memiliki raut seperti Muslim Mesir, Nadia Mohammed, yang tinggal di New Hartford, New York. Ia adalah pakar terapi fisik dan ibu dari tiga anak. Ia juga anggota Asosiasi Guru-Wali Murid bagi putra-putranya.

Juga tampang seperti Muslim asal Pakistan, Maysoon Otaibi, mantan pakar teknisi laboratorium yang baru pindah ke New Hartford tahun lau. Atau seperti muka Banan, putri Maysoon berusia 14 tahun yang menyebut jilbab 'tidak perlu'.

Wajah itu juga milik Kendal Lopez, Muslim Amerika asli Utica yang 10 tahun lalu beralih memeluk Islam ketika gagal menemukan hubungan jiwa dengan Kristen yang telah membaptisnya sejak berusia 6 thaun.

Dan seperti Andaleta Mujkic pula, wanita muda berusia 19 tahun. Ia putri seorang pendeta yang tak mengenakan jilbab namun dengan cepat akan menyatakan diri Muslim dan membela keyakinannya.

Informasi tidak akurat dan minimnya pengetahuan tentang wanita Muslim dan kehidupan mereka secara keseluruhan, ternyata dapat membuat pemeluknya merasa frustasi. Setidaknya itu yang dialami para wanita tadi.

Muslim lokal selama ini mengalami penghinaan dari sikap diskriminasi, ujar mereka. Mereka juga memahami keyakinan mereka telah diidentikkan dengan terorisme dan kekerasan, terutama wanita, dan itu mengeruhkan ajaran Islam.

"Orang-orang tak tahu bagaimana membedakan agama dan budaya," ujar Maysoon Otabi, 40 tahun. "Beberapa orang berpikir itu ajaran agama, padahal bukan. Apa yang terjadi di Afghanistan dan beberapa area lain berhubungan dengan budaya mereka dan tak ada kaitan dengan Islam," katanya menegaskan.

"Jika kita tidah memahami Islam dan kita tidak memahami kehidupan Arab, maka kita tidak bisa memahami kerumitan budaya dan cenderung melihat dunia dari stereotip," ujar Zogbi. "Kita pun lantas menggenalisir pengamatan yang dibuat sendiri dan melihatnya sebagai fakta," imbuhnya.

Stereotip itu pun memasukkan wanita Islam dalam peran-peran yang tak ada dalam ajaran mereka bahkan belum tentu dilakukan oleh yang bersangkutan. "Wanita-wanita kami juga pergi kuliah, memiliki gelar beberapa dari kami adalah dokter, guru, bahkan guru besar di kampus," papar Otaibi.

"Kenyataannya, mayoritas besar Muslim adalah seperti anda dan saya," ujar direktur eksekutif Pusat Sumber Daya Pengungsi Mohawk Valley. “Mereka menjalani hidup sehari-hari dan kadang budaya dan tradisi mereka bercampur, lalu itulah yang terlihat oleh publik. Mereka tidak menyadari itu, dan kami pun juga tidak pernah tahu," paparnya.

Mengetahui, imbuhnya, bisa jadi langkah pertama untuk menghindar dari stereotip. "Di sini, keempat wanita tadi telah membolehkan orang luar mengintip kehidupa mereka, mendengar suara mereka dan melihat raut-raut muka yang dianggap tak berwajah tadi," kata Zogby.

sumber : Uticaod.com
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement