REPUBLIKA.CO.ID, BRISBANE--"Kaki kami seperti berada di dua tempat," begitu kata Jamila Hussein, seorang akademisi yang kini menekuni studi Islam di University of Technology, Sydney, kepada Sydney Morning Herald, harian terkemuka negeri itu. Ia menjadi mualaf sejak 1988.
Di satu sisi, mereka yang menjadi Muslim dianggap "keluar" dari akarnya, masyarakat kulit putih Australia. Padahal, mereka lebih pe-de berada dalam komunitas ini ketimbang komunitas Muslim. Masalah etnis dan bahasa, katanya, kerap menjadi kendala. "Namun di masyarakat asal kami, kami seakan terbuang. Cenderung dihambat oleh persepsi dan stereotip negatif tentang Islam," ujarnya.
Berbeda dengan di Inggris yang masyarakatnya lebih terbuka dan menghargai perbedaan, tak demikian dengan Australia. Bagaimana mereka melangkah, bergantung pada diri mereka sendiri untuk menghadapi.
Itu sebabnya, kata Hussein yang kini menjadi akademisi di almamaternya, dua jenis mualaf di Australia: menjadi sangat fundamentalis dan cenderung ekstremis atau yang rasional dan bertahap seperti dirinya.
Ia beruntung, karena kini bertemu dengan mualaf senasib -- yang dicampakkan lingkungannya namun tak sepenuhnya diterima komunitas Muslim -- dan membentuk sebuah kelompok kajian. Mereka bertemu di Auburn setiap malam Jumat untuk belajar agama dan saling curhat serta menemukan jalan keluar bagi masalah masing-masing.
Menurutnya, menjadi Muslim di Australia tak semudah membalikkan telapak tangan. ''Tiba-tiba Anda bukan bagian dari masyarakat Anglo mainstream, namun Anda mungkin tidak merasa sepenuhnya diterima oleh masyarakat Muslim setempat,'' katanya lagi.
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Silma Ihram, mantan kepala sekolah Noor al-Houda Islam College, yang juga seorang mualaf. Ia menganut Kristen pada usia 15 tahun. Pada usia 23 tahun, ia bekerja di Indonesia dan berkesempatan mempelajari Islam. Pulang ke negaranya, ia memilih jadi mualaf.
"Di Australia, mualaf adalah minoritas di antara minoritas," ujarnya. Ia sendiri mencoba berbaur dengan berbagai komunitas.
Sensus 2006 mengungkapkan bahwa 1,7 persen penduduk Australia adalah Muslim, dan 39 persen di antaranya lahir di Australia.
Barangkali, "bingung budaya" inilah yang membuat jumlah mualaf di Australia tak sebanyak Inggris. Professor Marion Maddox, direktur Pusat Penelitian Inklusi Sosial di Macquarie University mengatakan di banding Islam, Buddhisme adalah agama yang paling menarik minat publik Australia.
''Pada tahun 2006 terdapat pertumbuhan jumlah umat Islam, tetapi yang dapat dijelaskan oleh imigrasi dan meningkatkan alami. Namun peningkatan jumlah umat Buddha adalah karena perpindahan agama," ujarnya.