REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia Profesor Hamdi Muluk menilai wajar jika Pemerintah Indonesia marah karena disebut telah melakukan kebohongan. "Sikap marah itu bisa dimengerti. Tidak ada seorangpun di muka bumi ini yang mau disebut pembohong," kata Hamdi Muluk pada diskusi polemik "Musim Berbohong" di Jakarta, Sabtu (15/1).
Diskusi yang diselenggarakan sebuah radio swasta itu menghadirkan pembicara Pengamat Kebudayaan Radhar Panca Dahana, Aktivis Koalisi Masyarakat dan Pemuda Antikorupsi (Kompak) Ray Rangkuti, Staf Khusus Presiden Bidang Politik Daniel Sparingga, dan Psikolog Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk.
Menurut Hamdi Muluk, persoalan bohong merupakan basis integritas dan moralitas seseorang yang juga menyangkut tuduhan terhadap karakter. Sebenarnya yang dituduh oleh sejumlah tokoh masyarakat dan pemuka agama, menurut dia, bukan Presiden Yudhoyono tapi pemerintahannya yang melakukan pembohongan publik.
"Pernyataan kebohongan yang disampaikan tokoh masyarakat dan pemuka agama bukan merujuk pada karakter tapi pada kegagalan dalam memenuhi tuntutan rakyat," katanya.
Pengamat Kebudayaan, Radhar Panca Dahana berkata, "Kebohongan itu bagian dari kehidupan manusia,". Bahkan, kata dia, sebagian peradaban disusun melalui kebohongan, sepeti halnya legenda, fabel, dan idelogi, ada kebohongannya sendiri-sendiri.
Sementara Staf Khusus Presiden Bidang Politik, Daniel Sparingga, mengatakan pernyataan tokoh lintas agama yang menilai Pemerintah melakukan kebohongan bisa berimbaas pada citra yang dibangun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Itu sesuatu yang serius dan perlu disikapi, karena implikasi bisa mempengaruhi integritas Presiden," kata Daniel Sparingga.
Menurut dia, Presiden Yudhoyono tidak ingin pernyataan tokoh lintas agama itu menjadi opini publik dan tidak ingin sangkaan berbohong tidak sampai berkembang.