REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO--Betapa dramatis Presiden Zine Al Abidin Ben Ali, penguasa terguling Tunisia, terpaksa atau dipaksa melarikan diri dari negaranya di malam hari setelah berkuasa lebih dua dekade. Tindakan pelarian ini merupakan pertama kali terjadi di sebuah negara dunia Arab.
Pelarian Presiden Ben Ali pada Jumat (14/1) malam ke luar negeri itu mengingatkan orang pada penguasa Filipina, mendiang Presiden Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos pada 1986. Seperti Ben Ali, Marcos juga secara dramatis melarikan diri dari negaranya di malam hari pada 25 Februari 1986 ke Hawaii, Amerika Serikat, akibat "people power" yang dimotori tokoh wanita, Corazon Aquino, yang belakangan menjadi presiden menggantikan Marcos.
Ben Ali dan Marcos dinilai oleh rakyat mereka terlalu lama memimpin negara dan korupsi uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan kroni-kroninya. Ben Ali menjabat presiden 23 tahun dari 7 November 1987 hingga 14 January 2011, sementara Marcos bertengger di pucuk pimpinan negara selama 21 tahun dari 30 Desember 1965 hingga 25 Februari 1986.
Tumbangnya Ben Ali telah diprediksi oleh para pengulas berita di dunia Arab. "Pergolakan politik di Tunisia tak bisa lagi dibendung dan yang terbaik adalah pengunduran diri presiden dan perubahan pemerintahan," kata analis politik Mesir, Nabil Al Makki dalam debat di jaringan televisi berbahasa Arab, Al-Jazeera pekan lalu.
Kendatipun Presiden Ben Ali sudah meninggalkan Tunis dan kini berada di Arab Saudi, namun situasi Tunisia masih memanas dan tampak rentan dengan segala kemungkinan yang bisa mengancam terperosok ke lembah pertikaian tiada ujung.