Rabu 19 Jan 2011 02:04 WIB

Saat Depresi, Alisya Braja Temukan Ketenangan dalam Islam

Rep: Agung Sasongko/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Alisya Fianne Jane Braja
Foto: Facebook/Alisya Fianne Braja Tri
Alisya Fianne Jane Braja

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sabtu, (8/1), suasana Masjid Agung Sunda Kelapa, seperti biasa, begitu tenang dan rindang. Tampak terlihat  jamaah yang sedang shalat, mengaji atau berdiskusi santai. Suasana tampak berbeda ketika menaiki lantai empat gedung utama.

Selembar kertas bertuliskan "Pembinaan Mualaf" menempel di pintu berwarna coklat. Jelas terdengar suara ustad yang mengatakan "Anda-anda yang hadir disini merupakan tamu-tamu Allah SWT. Apa yang anda kerjakan hari ini akan mendapatkan balasan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya," kata si Ustad.

Perkataan ustad itu tampaknya tepat dengan pengalaman Alisya Braja. perempuan yang sudah memutuskan memeluk Islam tiga tahun lalu. Perempuan yang bernama lengkap Alisya Fianne Jane Braja tidak pernah membayangkan apa yang dia dengar menghantarkan dirinya pada Islam.

Dia mendapatkan petunjuk di saat ia tidak tenang dengan kehidupan yang dijalaninya. Dia depresi, gagal dalam pekerjaan dan mempertahankan rumah tangganya. "Pada saat itu saya tertekan tapi tidak ada yang membantu saya bahkan teman satu keyakinan. Jadi, saya harus berdoa sendiri dan menyelesaikan masalah sendiri," papar dia kepada republika.co.id.

Ketiadaan bantuan dan kondisi psikologis membuat dirinya berada di persimpangan. Disatu sisi, dia dihadapkan pilihan apakah menyelesaikan masalah itu dengan hal-hal berbau hura-hura. Artinya dia harus merapat pada teman-temannya yang memang suka bersenang-senang berlebihan.

Pilihan kedua, dia mendekan pada temannya yang Muslim. Teman-teman yang dianggapnya memberikan rasa iri lantaran rasa tenang yang terpancar ketika mereka selesai menjalankan shalat dan mengaji. "Saya benar-benar berada di ujung persimpangan," kata Alisya yang mengaku dulu memeluk Katholik.

Namun Sang Pencipta menghendaki ia mendekati teman-temannya yang muslim. Dia pun semakin tertarik melihat teman-temanya shalat lima waktu. Dia juga kian terlibat dengan aktivitas keagamaannya teman-temannya di masjid.

Hingga, teman-temannya itu merasa aneh dengan prilakunya "Teman saya waktu itu bahkan bilang ke saya, 'Kamu tidak masalah kalau saya mau ngaji dulu?'. Dia pun tidak memaksa saya masuk. Akhirnya saya pun menunggu diluar. kala itu, ustad yang tengah berbicara adalah Quraish Shihab," papar istri dari Oktobrawijya Tri

Apa yang didengarnya, membuat dia ketagihan. Alisya pun mengikuti pengajian selepas kantor setiap Senin dan Kamis. Rasa merinding berbalut dengan tenang seperti obat yang manjur bagi depresi yang tengah diderita Alisya.

Dia mengaku seolah diarahkan untuk beralih.  "Hati saya bergejolak dan seolah rindu untuk datang ke masjid  Sunda Kelapa. Saya bilang ke teman saya, kalau kesini lagi saya ikut dong," kata perempuan kelahiran Manado 38 tahun lalu ini.

Mendengar kemudian mendalami, demikian langkah Alisya. Dia pun meniatkan membeli Alquran di sebuah toko buku. Kemudian secara sembunyi-sembunyi Alisya mulai membandingkan Injil dengan Quran. Sejak 2004, Alisya mulai mempelajari Islam.

Hingga pada suatu ketika, dirinya bermimpi. Dalam mimpi itu disebutkan, "Hanya Muhammad utusan Allah, dan hanya Alquranlah yang paling benar." Alisya pun memberanikan diri untuk bertanya pada Ustad Rahim, yang kebetulan memang salah seorang pembina mualaf.

"Saat itu dia mengatakan itu merupakan hidayah yang diberikan Allah SWT kepada kamu. Kamis bertanya pada ustad tentang mimpi itu, Ahadnya saya memutuskan masuk Islam," cerita Alisya.

Setelah masuk Islam, Alisya mulai belajar shalat dan surat-surat Quran untuk bacaan shalat. Saat itu, Alisya secara perlahan dibimbing untuk membaca Alfatihah saja atau Allahuakbar, Allahuakbar. Di awal ia mengaku kadang ia melaksanakan shalat selalu lebih cepat dari saudara-saudaranya yang lain.

Ia pun mengakali itu dengan membuat tulisan bacaan surat lalu ditempelkan di dinding. Saat saudara-saudara semuslim lain bertanya apakah dirinya mualaf, Alisya mengaku terharu. Pasalnya, mereka berkata agar tidak merasa berat dalam mengerjakan shalat. "Itu yang membuat saya merasa didukung. Saya terharu," ujarnya mulai meneteskan air mata.

Setelah fasih melaksanakan shalat, Alisya mulai belajar berdoa. Doa yang pertama kali diucapkannya adalah meminta keluarganya menerima dirinya. Hal itu terus dilakukannya hingga tahun 2008, dia mendapatkan kesempatan untuk umrah.

Di Baitullah dia kembali dikejutkan dengan kuasa-Nya. Ritual umrah dijalaninya dengan penuh kemudahan. Dia pun merasa tegang sekaligus merinding. Dihadapan kabah ia diberdoa, agar keluarganya bisa menerimanya.

Doa itu pun dikabulkan yang Maha kuasa. Sepulangnya dari Makkah, dia mendapat telepon dari keluarganya di Manado. Dia pun terkejut. "Keluarga saya menelpon sekitar Juni akhir, sampai saya menangis doa saya didengarkan," kata ibu dari tiga anak ini.

Keluarganya ternyata ingin bertemu dengannya. Komunikasi pun lancar layaknya tanpa ada masalah. Hingga kini, Alisya dengan keluarganya selalu berkomunikasi. "Mereka menghargai saya sebagai seorang Muslim, dan saya menghargai mereka sebagai seorang nasrani," ujarnya.

Bahkan komunikasi yang terjalin sudah sampai pada pembahasan tentang Islam. Alisya mengatakan dia banyak mendapat pertanyaan tentang teroris dan jihad dari mereka. Dia pun menjelaskan kepada keluarganya bahwa hal itu bukanlah Islam sesungguhnya.

Kini, Alisya mulai menerjuni dunia mubaligh. Bersama-sama teman-temannya yang mualaf ia mendirikan paguyuban mualaf Masjid Agung Sunda Kelapa. Harapannya, para mualaf memiliki wadah untuk berbagi dan belajar tentang Islam.

Ia ingin terlibat membantu saudara-saudaranya yang memang membutuhkan arahan tentang mengenal Islam dan mempelajarinya. Hal yang sama juga ditujukan pada keluarganya. "Saya berharap keluarga saya diselamatkan atau diberi hidayah seperti saya."

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement