REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2011 dinilai tidak pro rakyat. Pemerintah dituding lebih gemar menghabiskan uang negara untuk kepentingan birokrasi, ketimbang untuk pos-pos yang lebih berorientasi kepada kepentingan publik seperti kesehatan dan jaminan sosial.
Hal tersebut dinyatakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi APBN Kesejahteraan dalam jumpa pers di Cikini, Jakarta Pusat, Ahad (23/1). Salah satu anggota koalisi dari Fitra, Yuna Farhan, menjelaskan terjadi penurunan anggaran untuk dua pos tesebut dari APBN 2010 ke APBN 2011. "Padahal, APBN adalah indikator untuk melihat seberapa jauh rezim berpihak kepada rakyat," ujar Yuna.
Yuna menjelaskan terdapat pengurangan anggaran kesehatan senilai Rp 6,1 Triliun ketimbang APBN tahun lalu. Sehingga, ungkapnya, pemerintah hanya mengalokasikan sekitar 2 persen dari APBN untuk kesehatan. Padahal, Yuna menjelaskan berdasarkan Undang-Undang, pemerintah harus mengalokasikan minimal 5 persen dari APBN di luar gaji.
Yuna pun mempermasalahkan soal anggaran untuk jaminan sosial. Menurutnya, tidak satu pun anggaran 2011 yang dialokasikan dengan jelas untuk mengembangkan sistem jaminan sosial secara menyeluruh. Yuna menyebutkan pemerintah hanya mengalokasikan anggaran bantuan sosial yang justru menurun hingga Rp 8 Triliun ketimbang pada APBN 2010.
Penurunan tersebut, ujarnya, juga terjadi pada subsidi senilai Rp 8 Triliun. Sementara dua pos tersebut diabaikan, Yuna menilai justru pemerintah menaikkan biaya perjalanan senilai Rp 4,9 Triliun. Setiap pejabat, ujarnya, mendapat jatah 2000 Dollar untuk plesiran ke luar negeri. "Ini bertentangan dengan instruksi presiden tentang efisiensi,"jelasnya.
Yuna pun menjelaskan terdapat kenaikan belanja pegawai berupa gaji dan sebagainya senilai Rp 4,9 Triliun. Untuk itu, perwakilan koalisi lainnya, dari Indonesian Human Rights Committee for Sosial Justice, Gunawan, mengaku sedang menggugat Undang-Undang APBN-Perubahan 2010. "Kami sedang mengajukan yudisial review,"tegasnya.
Praktisi hukum ini menjelaskan uji materi terhadap undang-undang tersebut sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi sejak Agustus 2010 lalu. Meski demikian, Gunawan mengaku belum ada kejelasan dari MK terhadap uji materi tersebut. Oleh karena itu, ia menuding MK telah membiarkan terjadinya pelanggaran konstitusi pada APBN tersebut. "MK harus menjelaskan posisi uji materi atas UU APBN-P 2010 kepada pemohon dan publik secara luas,"tegasnya.
Yuna pun mengimbau agar MK juga memberi batas waktu untuk pembahasan uji materi pada Undang-Undang APBN. Pasalnya, ungkap Yuna, selama ini tidak ada pembatasan waktu bagi MK untuk melakukan uji materi terhadap Undang-Undang. Padahal, Yuna menganggap APBN perlu diberikan tenggat waktu pembahasan agar APBN tidak cair terlebih dahulu sebelum putusan uji materi tersebut.