REPUBLIKA.CO.ID, MANHASSET, NEW YORK - Maroko dan kelompok separatis terpisah Sahara Barat, Ahad (23/1) gagal mencapai kesepakatan mengenai masa depan kawasan sengketa tersebut, menurut Perserikatan Bangsa Bangsa. "Masing-masing pihak terus menolak usulan yang lain sebagai dasar tunggal untuk negosiasi mendatang," kata utusan khusus Perserikatan Bangsa Bangsa Christopher Ross, yang mengawasi sesi itu di dekat New York.
Perundingan itu adalah pertemuan ketiga dalam dua bulan terakhir dan Ross sebelumnya telah meminta kedua belah pihak untuk menyampaikan "usulan nyata" guna meningkatkan prospek perundingan yang telah tertunda selama bertahun-tahun lamanya.
Putaran lain pembicaraan antara kedua belah pihak dijadwalkan pada Maret 2011. Kelompok separatis Front Polisario menuntut referendum penentuan nasib sendiri di wilayah Afrika utara yang dianeksasi oleh Maroko setelah Spanyol mundur pada tahun 1975.
Sementara itu Maroko hanya menawarkan otonomi yang lebih besar bagi kawasan tersebut. Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1991 memprakarsai suatu gencatan senjata untuk konflik berkepanjangan antara Maroko dan Front Polisario.
Rencana yang disetujui Dewan Keamanan itu menyerukan referendum bagi masyarakat untuk memilih kemerdekaan atau integrasi dengan Maroko, tetapi tidak pernah terjadi.
Delegasi dari negara tetangga, Aljazair, yang mendukung Front Polisario, dan Mauritania juga terlibat dalam pembicaraan. Warga Sahara Barat yang tinggal di kamp-kamp pengungsi Aljazair telah diizinkan melanjutkan kunjungan keluarga. Kondisi itu disambut baik oleh semua pihak dalam pembicaraan.
Pertemuan dengan kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi di Jenewa dijadwalkan bulan depan dalam upaya untuk meningkatkan kunjungan, kata Ross.