REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, saat melakukan uji coba penerapan paspor elektronik (e-paspor) di Jakarta, Rabu (26/1), menegaskan bahwa e-paspor tidak bisa dipalsukan. Patrialis mengatakan, peluncuran e-paspor yang dilakukan bertepatan dengan HUT Ditjen Imigrasi ke-61 itu untuk mencegah peristiwa pemalsuan paspor terjadi kembali.
Menurut dia, peluncuran e-paspor dilakukan sebagai upaya pengawasan dan peningkatan keamanan dari dokumen keimigrasian yang sebelumnya rentan pemalsuan, seperti kasus pelesiran terpidana mafia pajak Gayus Tambunan. Paspor elektronik itu menyimpan sebuah chip yang berfungsi menyimpan data pemegang paspor, sehingga diharapkan sulit untuk dipalsukan.
Teknologi informasi berbasis elektronik itu mengadopsi dan memenuhi standar pengamanan dari International Civil Aviation Organization (ICAO). Karena masih bersifat uji coba, pembuatan e-paspor baru bisa dilakukan di Kantor Imigrasi Jakarta Pusat, Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Barat, dan Imigrasi Kelas I Khusus Soekarno-Hatta.
Sebelumnya, Patrialis pernah menjelaskan bahwa penerapan e-paspor ini belum diwajibkan di 2011, mengingat Kementerian masih menjaring masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan sistem tersebut. Dunia pun, menurutnya, juga mulai menyosialisasikan penggunaan e-paspor.
Bahkan Brunei Darussalam yang terlebih dulu menggunakan sistem serupa, kini telah diakui tingkat keamanannya sehingga disetujui Uni Eropa tidak perlu lagi membuat visa sengen. Pemerintah menetapkan tarif e-paspor memang lebih mahal dibanding paspor konvensional, yakni untuk e-paspor 48 halaman dikenai biaya Rp 655.000, e-paspor 24 lembar dikenai biaya Rp 405.000.
Sedangkan untuk paspor konvensional atau yang menggunakan sistem biometrik dikenai Rp 255.000 untuk 48 lembar, dan Rp 105.000 untuk 24 lembar. Dengan diujicobakannya e-paspor masyarakat tetap masih bisa menggunakan paspor konvensional yang dimiliki.
Rencananya, penggunaan wajib e-paspor akan diseragamkan di dunia pada 2015, karena itu pembenahan e-paspor terus dilakukan sebelum wajib diberlakukan di seluruh dunia.