REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Deputi Gubernur Bank Indonesia, Hartadi A Sarwono, mengatakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih bisa terus menguat di bawah Rp9.000 per dolar AS. Prediksi itu keluar setelah BI menaikkan suku bunga dari 6,50 persen menjadi 6,75 persen.
"Menurut perhitungan sementara ini rupiah bisa lebih kuat di bawah Rp9.000 per dolar AS dan tidak mengganggu daya saing ekspor maupun neraca BI," kata Hartadi saat dihubungi Antara di Jakarta, Senin (7/2).
Ia mengatakan penguatan rupiah sudah diprediksi BI saat menaikkan BI rate Jumat (4/2) kemarin. Peningkatan suku bunga itu mendorong masuknya kembali investor asing membeli portofolio rupiah.
Penguatan rupiah, katanya justru diharapkan dapat membantu menurunkan tekanan inflasi yang berasal dari luar atau imported inflation. "Penguatan rupiah masih bisa ditolerir sepanjang menguat bersama-sama mata uang lain negara-negara kompetitor dagang," katanya.
Hartadi juga mengatakan tidak khawatir masuknya arus dana asing akan membuat biaya moneter yang dikeluarkan BI bertambah besar. Apalagi sampai membuat defisit neraca BI membengkak.
"Stabilitas makro di atas segalanya buat bank sentral. Tekanan terhadap neraca BI tentu harus diupayakan minimal namun prioritas utama adalah perekonomian nasional," katanya.
Mengenai dinaikkannya BI rate sebesar 25 basis poin setelah bertahan sejak Agustus 2009, Hartadi mengatakan itu keputusan itu dibuat seiring perubahan ekspektasi inflasi ke depan yang sangat cepat akibat kenaikan komoditi dunia termasuk pangan dan crude oil.
"Kalau tidak kita berikan signal kenaikan BI Rate dikhawatirkan tekanan inflasi ke depan tidak terkendali," katanya. Kurs tengah rupiah terhadap dolar AS pada Senin siang ini tercatat di posisi Rp8.975 per dolar AS atau menguat dibanding Jumat (4/2) sebesar Rp9.030 per dolar AS.