REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Sejumlah pakar asal Amerika Serikat berpendapat bahwa Taliban di Afghanistan telah salah dipandang sebagai sekutu ideologi Al Qaida, demikian lapor harian New York Times, pada Ahad (6/2).
Harian itu--mengutip laporan yang disiarkan pada Senin oleh Universitas New York--, mengatakan para penulis penelitian itu memandang kelompok gerilyawan dapat dibujuk untuk meninggalkan Al Qaida.
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)pada 2011 berencana menyerahkan kekuasaan keamanan kepada pasukan Afghanistan yang melakukan perlawanan terhadap gerilyawan Taliban, secara bertahap. Penyerahan bertujuan memberikan mereka tanggung jawab penuh di seluruh wilayahnya pada 2014.
Persekutuan itu berharap dapat meningkatkan jumlah pasukan keamanan Afghanistan menjadi 306.000 tentara dan polisi pada akhir 2011. Penyerahan itu juga diharapkan dapat menarik 140.000 prajurit asing yang bertugas di penjuru negeri itu.
Para penulis, Alex Strick van Linschoten dan Felix Kuehn telah bekerja di Afghanistan selama beberapa tahun dan menyatakan bahwa operasi militer intensif melawan Taliban akan membuat negara itu sulit mencapai penyelesaian.
Laporan berjudul "Memisahkan Taliban dari Al Qaida: Inti Kesuksesan di Afghanistan" mengatakan bahwa serangan terhadap panglima perang Taliban dan para pemimpin kawasan provinsi justru membuat blunder. Pasalnya perang akan membuat pergerakan itu terbuka bagi anak muda, serta gerilyawan yang lebih radikal dan memberikan Al Qaida pengaruh lebih besar lagi, demikian pernyataan dalam penelitian itu.
Para penulis menyarankan bahwa AS harus melibatkan para pemimpin Taliban yang lebih tua sebelum mereka kehilangan kendali terhadap gerakan tersebut. Para penulis tidak menentang perang NATO, namun menyarankan bahwa negosiasi harus menyertai pertempuran, lapor The Times.
Penyelesaian politis diperlukan untuk melandasi sejumlah alasan bagi pemberontakan, tulis mereka. Selain itu mereka memperingatkan bahwa konflik tersebut akan meningkat.