REPUBLIKA.CO.ID,KAIRO - Kelompok oposisi Mesir mulai memperlihatkan perbedaan sikap dalam menyikapi tuntutan pada pemerintahan Presiden Hosni Mubarak. Sikap oposisi terbelah. Ada yang setuju dengan proses negoisasi. Tapi, ada pula yang menolak segala bentuk kompromi hingga Mubarak turun dari jabatannya.
Sayap oposisi terbesar Mesir, Ikhwanul Muslimin, merupakan salah satu kalangan yang membuka pintu negoisasi dengan pemerintah Mesir. Ikhwanul Muslimin bernegoisasi dengan Wakil Presiden Mesir, Omar Suleiman, guna membahas penyelesaian krisis politik di negeri seribu menara --julukan Mesir.
Dalam pembicaraan tersebut, Ikhwanul Muslimin menuntut pengunduran diri Hosni Mubarak dari kursi kepresidenan. “Sayang pembicaraan ini tidak membuahkan hasil apa-apa. Saya tidak melihat ada itikad serius dari pemerintah.,” ujar juru bicara Ikhwanul Muslimin, Abdul Monim Abo al-Fotoh, seperti dilansir Al Jazeera.
Mandeknya perundingan antara pemerintah dan oposisi terletak pada perbedaan menyikapi status Mubarak. Omar meminta oposisi untuk tetap mengakui Mubarak hingga pemilu pada September mendatang. Ini yang kemudian ditolak oleh oposisi Ikhwanul Muslimin.
“Kunci utama dari tuntutan massa adalah pengunduran diri Mubarak. Jika mau serius, harusnya sudah ada langkah yang lebih jauh ketimbang hanya pernyataan,” tegasnya.
Walau belum sepaham, kehadiran abdullah sammy dalam perundingan tersebut membawa titik cerah bagi pemerintah. Secara tidak langsung, abdullah sammy masih mengakui legitimasi yang dimiliki Omar sebagai wakil pemerintah. Hal inilah yang kemudian menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan oposisi.
Gerakan pemuda dan mahasiswa Mesir menegaskan pihaknya tidak mengajui hasil negoisasi dengan pemerintah. Wakil dari kalangan pemuda, Khaled Abdul-Hamid, menegaskan bahwa pihaknya tidak mengakui seluruh jajaran kabinet Hosni Mubarak, termasuk Omar Suleiman.
“Tidak ada satu pun dari anggota kami yang hadir dalam perundingan itu. Rezim harus berakhir,” tegasnya.