Kamis 17 Feb 2011 19:56 WIB

'Sangat tidak Mungkin Penguasa Merencanakan Kerusuhan'

Sejumlah kendaraan di tempat parkir gereja Pantekosta Temanggung dibakar massa dalam kerusuhan menyusul sidang vonis kasus penistaan agama, Selasa (8/2).
Foto: Antara
Sejumlah kendaraan di tempat parkir gereja Pantekosta Temanggung dibakar massa dalam kerusuhan menyusul sidang vonis kasus penistaan agama, Selasa (8/2).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Komisi VIII DPR tidak sependapat dengan asumsi bahwa peristiwa kerusuhan yang terjadi susul-menyusul di Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, direncanakan untuk membela kepentingan penguasa. "Dari sudut pandang mana pun, sangat tidak mungkin penguasa yang merencanakan kerusuhan itu," kata anggota Komisi VIII DPR, Achmad Ruba'i, di Surabaya, Kamis.

Menurut dia, kerusuhan itu berbiaya mahal sehingga asumsi mengenai perencanaan kerusuhan untuk membela kepentingan penguasa seperti rumor yang berkembang saat ini sangat sulit dinalar. "Tidak mungkin penguasa mau mengorbankan dirinya dengan ongkos sosial yang teramat mahal seperti itu," katanya usai rapat Badan Legislasi DPR dengan sejumlah pejabat Jatim di Terminal VVIP, Bandara Juanda, itu.

Justru dia menilai Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Mendagri, Menag, dan Jaksa Agung) banyak kelemahan sehingga memicu terjadinya aksi-aksi massal seperti yang terjadi ditiga tempat itu. "Kami melihat SKB itu represif. Masyarakat kita tidak senang ditekan karena yang dibutuhkan mereka adalah kesadaran," katanya.

Beberapa waktu lalu, Komisi VIII memanggil sejumlah tokoh dari MUI, NU, Muhammadiyah, dan Ahmadiyah. "Ada desakan agar Ahmadiyah jadi aliran tertentu di luar Islam. Tapi, Ahmadiyah menolak meski faham mereka secara umum berbeda dengan umat Islam di Indonesia," kata politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Oleh karena itu, sampai sekarang Komisi VIII belum bisa memutuskan terkait desakan agar Ahmadiyah mendeklarasikan diri sebagai organisasi kemasyarakatan di luar Islam. Terkait aksi penyerangan yang terjadi di Yayasan Pesantren Islam (Yapi) di Desa Kenep, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Selasa (15/2) lalu, Ruba'i berpendapat sebagai bentuk imitasi dari peristiwa Cikeusik dan Temanggung yang terjadi sebelumnya.

"Seharusnya orang itu meniru suatu perbuatan yang baik, bukan perbuatan buruk. Peristiwa ini seharusnya menjadikan umat Islam untuk lebih mempererat tali silaturahmi," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement