REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dr Henry Subiakto, pengajar Hukum Media di FISIP Unair menegaskan tidak ada yang salah dengan Dipo Alam, baik secara hukum maupun etika komunikasi. Ia mengatakan itu melalui hubungan telepon seluler, Sabtu (26/2), sehubungan sikap Dipo Alam yang menginstruksikan pemboikotan (iklan maupun informasi) terhadap media tertentu, karena dinilainya menjelek-jelekkan pemerintah.
Pernyataan Dipo Alam ini sekaligus sikapnya tidak mau meminta maaf, telah menimbulkan kontroversi, sekaligus dianggap bisa merusak citra Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, karena sejak era reformasi tidak lagi dikenal pembahasan informasi hingga pembreidelan. Akibat pernyataan dan sikapnya itu, Media Group melayangkan somasi kepada Dipo Alam yang batas waktunya hari ini.
Namun, bagi Henry Subiyakto, dua media yang disebut Dipo Alam itu memang berkali-kali sudah melanggar etika media maupun Undang Undang (UU) Penyiaran. "Karena mereka juga pernah diperingatkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)," ungkapnya.
Ia lalu mengingatkan objektivitas, atau imparsialitas dalam pemberitaan maupun program 'current issues' di
televisi (TV) memang wajib hukumnya dilakukan secara imparsial. "Itu adalah ketentuan UU Penyiaran maupun P3 SPS yang dikeluarkan KPI. Nah, dua TV itu sering melanggarnya. Makanya logis kalau Dipo mengeluh atau komplain terhadap dua TV itu," ujarnya.
Sebab, menurutnya, dia sebagai Pemerintah memang merupakan korban dari ketidaknetralan itu. "Tapi ini menjadi kontroversi karena yang bicara adalah seorang selevel menteri. Tapi ini dia adalah korban, dan 'statement' Dipo tidak ada pengaruhnya terhadap kebebasan pers," tegasnya.
Henry Subiyakto berpendapat, sekarang ini media itu jangan hanya dilihat sebagai kekuatan demokrasi semata, tapi juga merupakan 'power', yang bisa 'tends to corrupt' kalau tidak ada kontrol. "Apalagi media yang dimiliki oleh konglomerat yang sekaligus politisi yang memiliki agenda politik," ujarnya.
Dikatakannya banyak bukti menunjukkan TV berita sering dipakai sebagai 'political tools' oleh pemiliknya,
sehingga imparsialitas diabaikan. "Padahal setiap TV itu selalu menggunakan 'public domain', yaitu frekuensi.
Pemilik frekuensi adalah publik. Publik itu beragam aspirasi politiknya, agamanya ataupun parpolnya," katanya. Makanya, lanjutnya, menggunakan frekuensi tidak bisa seenaknya, harus imparsial. "Sekarang sejauh mana media-media yang ditunjuk pak Dipo itu sudah imparsial atau tidak memihak," katanya.
Pada bagian lain, Henry Subiyakto mengatakan, imbauan boikot di masyarakat demokrasi itu biasa. "Jadi jangan berlebihan, seakan boikot itu adalah arogansi atau membahayakan kebebasan pers," tegasnya.
Ia mengingatkan, yang harus dicermati, ialah sejauh mana dua televisi ini sudah menaati P3 SPS dari KPI dan UU Penyiaran. "Jangan malah menyalahkan pak Dipo atau Pemerintah yang memang seringkali diperlakukan tidak adil dalam program-program atau pemberitaan dua televisi itu," katanya.
Kalau media cetak, menurut dia, memang relatif lebih bebas, karena tidak menggunakan frekuensi. "Potensi pelanggarannya hanya persoalan etika. Tapi untuk TV memang aturan di berbagai negara amat ketat. Di Inggris tahun 1999 bahkan ada TV yang ditutup oleh 'KPI' Inggris, karena melanggar azas imparsialitas," ungkapnya.
Ketika itu, lanjutnya, media TV dalam memberitakan kasus Abdullah Ochalan dari Turki selalu hanya satu sisi, sehingga diperingatkan oleh 'KPI' Inggris (sekarang 'OFCOM') sampai tiga kali. "Karena tetap melanggar, TV 'Satelit' itu pun ditutup selama tiga bulan, dan baru boleh siaran lagi setelah menandatangani kesanggupan untuk netral. Nah kalau Inggris saja menjaga netralitas, sebab itu merupakan hal mutlak, bagaimana dengan Indonesia," tanyanya.
Jadi, demikian Henry Subiyakto, dari realitasnya memang ada masalah dengan netralitas TV berita kita, sehingga itu yang harus diperhatikan.