REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN - Menteri Dalam Negeri Jerman yang baru ditunjuk Kanselir Jerman, Angela Merkel, menyalakan kembali debat imigrasi yang sudah memanas dengan bersikeras menyatakan Islam 'bukan bagian identitas' di Jerman, yang notabene memiliki populasi Muslim sebanyak 4 juta orang.
Hans-Peter Friedrich, nama menteri dalam negeri baru, mulai berkantor pekan lalu usai kanselir melakukan perombakan kabinet. Namun pandangannya yang blak-blakan langsung memprovokasi kecaman dari anggota parlemen kubu oposisi dan respon pedas dari grup-grup Islam yang menuding ucapan Hans-Peter adalah 'tamparan bagi seluruh Muslim'.
"Menyatakan Islam bagian dari Jerman bukanlah fakta yang didukung oleh sejarah," ujar Hans-Peter. Pada akhir pekan ia menggarisbawahi posisinya dan bersikeras bahwa para imigran harus sadar sepenuhnya dengan negara tuan rumah yang "asli Kristen Barat" dan mempelajari Bahasa Jerman "sebagai bahasa pertama dan yang utama".
Pandangannya mutlak bertentangan dengan presiden konservatif Jerman, Christian Wulff. Dalam sebuah upaya meredakan friksi integrasi yang kian pahit, Wulff pada tahun lalu menyatakan bahwa Islam secara gamblang 'bagian dari Jerman' dilihat dari populasi Muslim yang tumbuh dan besar.
Hans-Peter, yang berasal dari sayap Bavaria partai Kristen Demokrat, partai yang menaungi Merkel, dikenal menentang keberadaan imigrasi kaum Muslim. Namun ia meyakini pidatonya pada Sabtu lalu bertujuan 'melekatkan masyarakat menjadi satu dan bukan bermaksud mencerai-beraikan'.
Ia juga menegaskan menunggu kesempatan mendiskusikan pandangannnya dengan mayoritas Muslim Turki di konferensi Islami yang disponsori pemerintah pada akhir Maret ini. Menteri Hans-Peter ditunjuk sehari setelah Karl-Theodoro zu Guttenberg, Menteri Pertahanan Jerman yang sempat moncer dipaksa mundur akibat skandal plagiarisme dalam pembuatan desertasi untuk gelar doktornya.
Demi meminimalkan kerusakan, Kanselir Merkel dengan cepat merombak kabinetanya, memberi Thomas de Maizière, menteri dalam negeri yang ia percaya, tugas-tugas menteri pertahanan dan mengimpor Hans-Peter untuk mengambil alih kantor menteri dalam negeri. Meski tokoh konservatif Bavaria itu telah menyerukan penghentian imigrasi Muslim, sedikit yang memperkirakan menteri baru itu akan memercikan kontroversi begitu cepat.
Lamya Kaddor, pimpinan Yayasan Islam liberal Jerman, menggambarkan ucapannya sebagai 'tamparan bagi seluruh Muslim'. Seraya menuding bahwa pendapat Hans-Peter salah secara historis maupun politik, Lamya menyatakan komentar menteri sangat berbahaya karena mengancam merusak dialog dengan komunitas Muslim.
Pernyataan Hans-Peter juga telah menuai kritikan marah dari oposisi Sosial Demokrat, dan beberapa anggota partner koalisi Merkel, Demokrat Bebas yang liberal. "Islam telah menjadi partner nyata Jerman selama beberapa generasi, menyangkal fakta itu sungguh tidak membantu," keluh anggota parlemen, Hartfrid Wolff.
Ini merupakan episode terbaru debat tentang imigrasi dan asimilasi yang telah lama berlangsung. Debat ini memuncak pada akhir tahun lalu menyusul publikasi buku tulisan Thilo Sarrazin, berjudul "Deutschland schafft sich ab" (Jerman mengikis dirinya sendiri).
Sarrazin berargumen populasi asli Jerman akan segera dilampaui oleh imigran Muslim yang berasal dari golongan kelas bawah dan semi-kriminal. Mereka, tuding Sarrazin, suka memiliki banyak anak, berbicara Jerman sedikit atau tidak sama sekali dan menggantungkan pada tunjangan sosial untuk bertahan hidup. Bukunya telah terjual lebih dari 1,3 juta eksemplar, menjadi salah satu judul paling laris pascaera Perang Dunia II.
Debat itu telah menghiasi headline media nasional selama beberapa bulan, namun selama ini selalu didominasi oleh politisi. Sementara perwakilan Muslim di Jerman hanya diberi ruang di kursi belakang.
Tahun lalu Kanselir Merkel bahkan menyatakan upaya untuk membangun masyarakat multikultural 'telah gagal'. Pandangannya bergema hingga ke Inggris, dengan komentar serupa dilontarkan PM Inggris, David Cameron, di Jerman bulan lalu.
Pernyataan Hans-Peter merupakan isyarat jelas bahwa suara garis keras terhadap integrasi dibawah pemerintahan konservatif Merkel menjadi kian nyaring.