REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Menteri Perhubungan Freddy Numberi mengatakan, tim negosiasi Indonesia dan kilang Montara milik PT TEP Australia menyepakati adanya dana bantuan tanggung jawab sosial (corporate social responbility/CSR) senilai lima juta dolar.
"Mereka sebelumnya mengajukan tiga juta dolar AS, tetapi dalam pertemuan ke-7 hari ini (11/3). Dana ini di luar tuntutan total klaim 2,4 miliar dolar AS atau setara dengan Rp23 triliun ke mereka," katanya kepada pers di Jakarta, Jumat.
Dana bantuan tersebut diperuntukkan untuk masyarakat korban pencemaran lingkungan di Nusa Tenggara Timur akibat ledakan kilang itu pada Agustus 2009. Menhub Freddy mengatakan, setelah pertemuan ini, kedua pihak akan menyusun draf Nota Kesepahaman dan diharapkan pada akhir Maret selesai disepakati kedua pihak dan awal April menandatanganinya.
"MoU itu akan memuat klausul lengkap terkait klaim ganti rugi yang kita ajukan. Waktu pembayaran dan sebagainya agar masalah pencemaran laut Timor ini tuntas dan tidak menjadi preseden buruk ke depan. Klaim diharapkan pembayarannya sudah bisa dimulai Juni," katanya.
Ditanya bagaimana seandainya Montara tidak mematuhi sesuai kesepakatan dalam MoU tersebut, Freddy menegaskan, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah langkah hukum. "Apa langkahnya, nanti saja," katanya.
Menurut Freddy, kalau PT TEP menginginkan untuk pakai formula ganti rugi, pemerintah mempersilahkan hal tersebut apabila itu dianggap cepat menyelesaikan masalah. "Kita kan minta 15 tahun tapi kalau mereka minta cepat, misalnya 10 tahun, silahkan saja, yang penting jelas verifikasinya. Jadi bisa cepat putuskan ganti rugi secara menyeluruh berapa," katanya.
Data yang dihimpun menyebutkan, telah terjadi pencemaran, petani rumput laut di Rote Ndao dapat memproduksi 7.334 ton rumput luat kering per tahun. Pada 2009, atau setelah pencemaran terjadi, produksi turun hingga 1.512 ton. Bahkan, hingga Juni 2010, produksi rumput laut kering di Rote baru mencapai 341,4 ton.
Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengatakan, hasil perhitungan nilai potensi kerugian sosial ekonomi tersebut menjadi dasar kebijakan untuk tuntutan ganti rugi kepada pihak Australia. Hasil perhitungan kerugian tersebut terdiri dari potensi kerugian total (total lost value) yakni Rp247 miliar dan kerugian langsung (direct lost value) yang mencapai Rp42 miliar.
Kerugian total merupakan perhitungan berbagai aspek seperti biofisik, psikologi dan sosial ekonomi dari nelayan setempat, sedangkan kerugian langsung adalah penghitungan berdasarkan aspek riil yang seharusnya didapat oleh nelayan dari perairan tersebut.