REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, pemerintah harus bisa mengungkap siapa pemberi informasi bocoran kawat diplomatik dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta. "Pemerintah perlu membentuk tim investigasi independen untuk mengetahui pejabat yang memberi informasi kepada kedubes AS," kata Hikmahanto, di Depok, Selasa (15/3).
Sebelumnya, harian The Age dan Sydney Morning Herald (SMH) yang terbit pada 11 Maret menyebutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diduga terlibat kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dikutip dari bocoran kawat diplomatik dari Kedubes AS di Jakarta oleh Wikileaks.
Pada Jumat (11/3), pemerintah Indonesia sudah mengajukan hak jawabnya dan keesokan harinya, Sabtu (12/3), harian The Age telah memuat hak jawab tersebut. Hikmahanto mengatakan dampak dari pemberitaan tersebut katanya mempunyai dimensi internasional dan dimensi nasional.
"Untuk dimensi internasional saya rasa sudah selesai dengan mengajukan hak jawab terhadap pemberitaan tersebut," katanya.
Sedangkan untuk dimensi nasional masih harus diselesaikan karena masyarakat Indonesia sangat sensitif dengan masalah korupsi. "Jangan sampai muncul ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah," ujarnya.
Ia menilai bahwa bocoran kawat diplomatik AS tersebut merupakan informasi yang masih sangat mentah, dan perlu didalami lebih lanjut agar dapat diketahui motifnya. Dikatakannya Wikileaks mempunyai sekitar 3.059 kawat diplomatik AS di Jakarta, yang sewaktu-waktu bisa dibocorkan kembali. Untuk itu kata dia para pejabat Indonesia dalam memberikan informasi dengan tujuan politis kepada diplomat asing harus diakhiri. "Mereka bisanya meminjam tangan negara lain untuk menyerang rival politiknya," jelasnya.