REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Senin (21/03) tepat 60 tahun lalu, orang-orang Maluku pertama datang ke Belanda. Sejarah orang Maluku di Belanda tak hanya dihiasi tragedi, namun juga kegembiraan. Lama sekali mereka berpikir bahwa mereka akan kembali pulang ke kampung halaman di Maluku.
"Hingga akhir tahun 70-an mereka adalah pengungsi, orang yang merantau. Tapi sejak awal 80-an mereka berubah menjadi penduduk migran Belanda," kata Fridus Steijlen, pakar Maluku dari KITLV, Institut Budaya dan Bahasa di Leiden.
Periode 1949 dan 1950 masih ada orang-orang Maluku yang bekerja untuk KNIL Belanda, di Indonesia. Kebanyakan anggota KNIL keturunan Maluku ini mendukung RMS (Republik Maluku Selatan). Karena situasi politik di Indonesia saat itu, sulit bagi mereka untuk tetap tinggal di Indonesia.
Solusi terbaik adalah mengirim tentara KNIL asal Maluku dan keluargnya ke Belanda. Pada tahun 1952, tepatnya 21 Maret 1951, kapal pertama Kota Inten tiba di pelabuhan Rotterdam, membawa orang-orang Maluku. Mereka beranggapan, hanya akan tinggal di Belanda untuk jangka waktu singkat, mungkin sekitar enam bulan, dan setelah itu akan dipulangkan kembali ke Maluku.
Rupanya Belanda hanya memberikan janji kosong. Sampai di Belanda orang-orang Maluku ini ditempatkan di barak-barak atau kamp-kamp yang jauh dari kota atau di desa terpencil. Mereka juga dikeluarkan dari keanggotaan KNIL dan tidak mendapat gaji. Sampai tahun 1956 mereka mendapat makanan, minuman, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya dari pemerintah Belanda secara cuma-cuma.
Setelah itu, mereka harus mencari pekerjaan. Padahal selama ini mereka tidak pernah berintegrasi dengan masyarakat Belanda. Kebanyakan juga tidak bisa bahasa Belanda. Mereka sulit mendapat pekerjaan. Dari sini timbul banyak masalah sosial dan ekonomi, dan puncaknya adalah penyanderaan kereta api tahun 1975 dan penyanderaan sebuah sekolah dasar di Bovensmilde tahun 1977 oleh para pendukung RMS.
Sejak tahun 1970 generasi kedua dan ketiga Maluku di Belanda mulai berkunjung ke tanah kelahiran orangtua mereka. Muncul kesadaran baru mengenai kehidupan di Maluku. Banyak yang berubah sikap dan mengatakan tidak perlu pulang kampung, yang lebih penting adalah membantu, misalnya dengan memulai proyek yang dibiayai dari Belanda.