Rabu 23 Mar 2011 15:34 WIB

Akuisisi Indosiar Dinilai Langgar UU Penyiaran

Indosiar
Foto: .
Indosiar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pakar komunikasi UI Effendi Ghazali menilai rencana akuisisi Indosiar oleh PT Elang Mahkota Teknologi (EMT) yang memiliki pula SCTV melanggar Undang-Undang (UU) Penyiaran dan karena itu merger kedua stasiun televisi itu harus dibatalkan.

"Ini jelas-jelas melanggar UU Penyiaran dan Peraturan Pemerintah (PP) No 50 Tahun 2005 yang mengatur satu holding hanya boleh memiliki satu frekuensi di satu provinsi," kata Ghazali saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema "Revisi UU Penyiaran: Antara Konsep dan Praktik" di ruang wartawan DPR, Jakarta, Rabu. Dalam diskusi itu hadir pula sebagai pembicara anggota Komisi I DPR Effendi Choirie (FPKB) dan Roy Suryo (FPD) serta anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) M Riyanto.

Menurut Ghazali, kalau pun dari sudut UU Persaingan Usaha atau UU lainnya tidak ada potensi monopoli, akuisisi ini tetap tidak boleh dilanjutkan karena yang bergabung adalah dua perusahaan penyiaran di bawah satu atap bernama PT Elang Mahkota Teknologi (EMTK). "Kalau pun akuisisi ini terjadi, maka PT EMTK nantinya memiliki tiga frekuensi yakni Indosiar, SCTV, dan O Channel," ujarnya.

Lebih lanjut staf pengajar Ilmu Komunikasi UI itu menjelaskan bahwa dalam kasus akuisisi Indosiar oleh SCTV, jika merger keduanya sampai terjadi, maka hal itu akan menjadi legitimasi untuk kasus-kasus sebelumnya, sekaligus membuka jalan untuk merger yang akan terjadi selanjutnya.

"Tetapi yang pasti, ini melanggar UU Penyiaran dan tidak boleh terjadi," katanya.

Sementara itu Komisioner KPI Bidang Infrastruktur M Riyanto mengatakan, industri penyiaran berkaitan dengan kepentingan publik, dan karena itu tidak boleh terjadi monopoli. Karena itu, akuisisi Indosiar oleh SCTV tidak benar, melanggar UU Penyiaran, dan harus dibatalkan.

Dijelaskannya bahwa kasus akuisisi Indosiar oleh SCTV semakin sulit dan marak ketika melibatkan KPPU dan Bapepam. "Kami mulai road show ke Kementerian Komunikasi dan Informatika, Bapepam, dan KPPU, menjelaskan soal posisi UU Penyiaran dan KPI dalam penyelesaian sengketa industri penyiaran. Mereka sekarang mulai memahami lex specialis UU Penyiaran yang melarang monopoli," katanya.

Senada dengan dua pembicara itu, aggota Komisi I DPR dari FKB Effendy Choirie mengatakan, merger atau akuisisi itu tidak dibenarkan dalam UU Penyiaran. "Rencana akusisi Indosiar oleh SCTV misalnya, bertentangan dengan UU Penyiaran dan harus dibatalkan," katanya.

Effendy Choirie mengakui, sekarang ada upaya dari Kominfo untuk memreteli peran, fungsi, dan tugas KPI, sehingga fungsinya hanya mengurus konten penyiaran. "KPI ini ibarat tidak punya tangan dan kaki, hanya ada mulut," katanya.

Sedangkan Roy Suryo, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat (FPD) sepakat menolak merger atau akuisisi di dunia penyiaran. "Tidak boleh ada monopoli atau memiliki frekuensi di satu wilayah. Kalau nama industri penyiaran dan pemilik sama, itu kita akan diskusikan karena mengurangi rasa ketidakadilan," katanya.

Mengenai fatwa Mahkamah Agung (MA) soal akuisisi Indosiar oleh SCTV, Riyanto mengatakan bahwa tidak ada fatwa dari MA. "Yang ada hanya korepondensi biasa meminta pendapat MA. Tidak benar itu ada fatwa dari MA yang menyetujui akusisi," katanya.

Sedangkan Effendy Gazali mengatakan, fatwa MA itu adalah bentuk pembohongan publik supaya memuluskan akusisi Indosiar. Dalam surat balasan MA kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, disebutkan bahwa perihal surat itu adalah permohonan pertimbangan hukum.

Dikemukakannya bahwa ada dua jawaban dari MA. Jawaban poin pertama, kata Ghazali, kewenangan MA dalam memberikan pertimbangan hukum tidaklah diartikan sebagai memberi kewenangan kepada MA untuk memberikan penafsiran terhadap penerapan UU atau PP lain, kecuali dalam hal terjadi sengketa atau perkara konkret di badan peradilan yang mempersoalkan. "Ini jawaban MA yang benar dan logis," katanya.

Tetapi di poin kedua, ia menambahkan, MA mengatakan terlepas dari adanya kemungkinan sengketa yang timbul mengenai penafsiran UU dari segi hukum administrasi negara, MA dapat memahami dan memaklumi Menkominfo menyikapi penerapan dan pelaksanaan UU No 32 Tahun 2002 dan PP No 50 Tahun 2005, yang menurut pertimbangan hukum tidak bertentangan.

"Nah, pada poin kedua ini MA mulai kacau. Kok bisa MA mengatakan memahami jalan pikiran Menteri Komunikasi dan Informatika. Kalau pun akuisisi ini akhirnya lolos, maka bubarkan saja UU Penyiaran dan KPI," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement