REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terus meningkatkan perhatian terhadap peredaran barang-barang yang melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang berpotensi merugikan perekonomian Indonesia. Kerugian ekonomi yang timbul akibat peredaran barang-barang palsu tersebut mencapai lebih dari Rp 65 triliun.
Nilai tersebut didapat dari hasil survei yang dilaksanakan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bekerja sama dengan organisasi Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) di 2014. “Sebagai bentuk keseriusan pemerintah, Kementerian Keuangan telah menerbitkan aturan terkait pengendalian impor dan ekspor barang yang diduga merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran HKI. Hal ini dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri serta menciptakan dalam menjalankan usaha bagi pelaku usaha yang taat aturan perpajakan,” ujar Humas Bea Cukai, Robert M.
Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.04/2018, Kementerian Keuangan melalui Bea Cukai telah mengatur perekaman, penegahan, jaminan, penangguhan sementara, monitoring, dan evaluasi dalam rangka pengendalian impor atau ekspor barang yang diduga merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran HKI.
Mekanisme pengendalian atas impor atau ekspor barang yang diduga dari hasil pelanggaran HKI akan menggunakan skema Ex Officio di mana prosesnya didasarkan dari hasil perekaman pada sistem Perekaman Bea Cukai. Pemilik atau Pemegang Hak atas merek dan/atau hak cipta dapat mengajukan permohonan perekaman data HKI kepada Bea Cukai.
“Ketentuan terkait pengajuan permohonan perekaman data HKI dapat dilihat di PMK 40. Selain mengatur hal tersebut, diatur juga beberapa hal di antaranya terkait penelitian yang dilakukan pejabat Bea Cukai terhadap permohonan tersebut,” ujar Robert.
Dengan telah ditetapkannya regulasi ini, diharapkan akan semakin memberikan kepastian hukum bagi para pemegang merek dan hak cipta. Dengan demikian, potensi kerugian ekonomi yang terjadi akibat tidak terpenuhinya hak negara dalam hal pembayaran pajak dapat dihindarkan.