REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) tengah membahas kajian fatwa komoditi murabahah untuk dapat diterapkan di Indonesia. Jika nantinya komoditi murabahah dapat dilakukan di tanah air hal itu dinilai akan dapat mendorong perkembangan perbankan syariah.
Bendahara DSN MUI, Nadratuzzaman Hosen, mengatakan sebelumnya DSN MUI bekerjasama dengan Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) untuk membantu BBJ mengoperasikan berjangka syariah dengan mengembangkan komoditi murabahah. “Bursa berjangka syariah kalau di Malaysia dimanfaatkan untuk berlangsungnya produk komoditi murabahah karena berbasis pada perdagangan dan di sana banyak yang tertarik, bank pakai komoditi murabahah,” kata Nadratuzzaman kepada Republika, Selasa (21/12).
Ia menegaskan, jual beli dalam Islam harus bersifat riil dan jika komoditi murabahah nantinya dapat berjalan baik, maka akan dapat bermanfaat bagi bank syariah untuk berkembang. “Masyarakat juga akan tertarik dengan investasi di perbankan syariah tapi tetap komoditi murabahah ini akan harus ada fatwanya dulu dan ini yang sedang kita kaji komoditi murabahah ala Indonesia,” ujar Nadratuzzaman.
Ia menambahkan, DSN telah melakukan pembahasan sebanyak dua kali mengenai fatwa untuk produk komoditi murabahah. Pada pertemuan kelima kajian komoditi murabahah baru akan masuk dibahas dalam sidang pleno DSN MUI.
Kajian mengenai komoditi murabahah pun disambut baik oleh pelaku perbankan syariah. Direktur Treasury dan International Banking Bank Muamalat Indonesia, Farouk A Alwyni, mengatakan sebelumnya pihaknya telah memasukkan usulan kajian komoditi murabahah kepada DSN MUI. “Komoditi murabahah ini sebagai penambahan produk keuangan karena sekarang treasury cuma dengan akad mudharabah, nah dengan komoditi murabahah nanti bisa memperbanyak opsi produk jadi tidak terbatas hanya satu produk. Untuk hedging kan juga perlu komoditi murabahah,” kata Farouk, yang sedang berada di Jeddah, Arab Saudi.
Ia menekankan komoditi murabahah menjadi salah satu produk yang dibutuhkan perbankan syariah saat ini untuk mengembangkan bisnis, mengingat masih terbatasnya produk di pasar keuangan syariah. Belum tersedianya komoditi murabahah menjadi ganjalan dalam menjalin kerjasama. Ia mencontohkan terdapat sejumlah kerjasama placement yang ditawarkan, namun karena kerjasama tersebut dilakukan dengan komoditi murabahah hal itu pun langsung terbentur dengan ketentuan yang ada.
Per September 2010 aset BMI sebesar Rp 17,72 triliun, sementara dana pihak ketiga (DPK) meningkat dari Rp 12,17 triliun menjadi Rp 13,85 triliun. Di sisi laba terjadi peningkatan dari Rp 55,304 miliar per 30 September 2009 menjadi Rp 139,793 miliar pada periode tahun ini. Sedangkan pembiayaan tercatat kenaikan sebesar 22,06 persen dari Rp 11,27 triliun menjadi Rp13,76 triliun.
Sementara, Direktur Bisnis BNI Syariah, Bambang Widjanarko pun menyambut baik komoditi murabahah sebagai diversifikasi produk perbankan syariah. “Pembahasan komoditi murabahah sebagai salah satu produk perbankan syariah tentunya kita sambut baik karena untuk murabahah juga cukup banyak digunakan perbankan syariah,” kata Bambang.
Walaupun BNI Syariah saat ini belum terlalu membutuhkan produk tersebut, Bambang menuturkan hal itu menjadi salah satu kesempatan yang bisa dimanfaatkan perbankan syariah ke depannya. Bambang mengungkapkan pada 2011 BNI Syariah menargetkan pertumbuhan pembiayaan sebesar 50 persen. Untuk mencapai hal itu pihaknya memperluas jaringan dengan membuka 35 outlet dan akan mulai masuk ke trade finance. “BNI Syariah sudah menjadi bank devisa, karena itu pembiayaan akan kita coba tingkatkan di tahun depan untuk menjaga FDR minimal 80 persen,” kata Bambang. Saat ini pembiayaan BNI Syariah tercatat Rp 3,4 triliun, DPK Rp 4,95 triliun dan aset Rp 6 triliun.