Assalamualaikum wr wb
Saya tertarik dengan penjelasan mengenai perbedaan sistem kredit syariah dan konvensional, karena kebetulan saya sedang akan mengajukan pembiaayaan KPRS. Pada praktiknya ada beberapa hal yang membuat saya bingung pada sistem kredit syariah.
- Ketika syirkah yang terjadi adalah 50 persen bank dan 50 persen nasabah, mengapa pada bagi hasil yang terjadi adalah 70 persen bank dan 30 persen nasabah?
- Kemudian ada biaya administrasi yang berjumlah sekitar Rp 1 juta. Kalau ini adalah bagian dari biaya sewa (akadnya adalah ijarah wa iqtina), mengapa tidak ada bagi hasil untuk komponen ini. Biaya sewa untuk rumah yang dimiliki bersama itu juga jauh di luar kelaziman. Apakah itu wajar?
- Setahu saya sangat dilarang membuat akad untuk suatu barang yang telah ada akadnya, apakah akad sewa pada suatu barang dapat diakhiri dengan kepemilikan barang tersebut oleh nasabah, jika tidak ada akad jual beli? dan kalau ada, bukankah kemudian terjadi 2 akad untuk 1 barang?
Wassalamualikum wr wb
Agung Cahyo
Jl Kalpataru 8 No 45 Purwokerto
Jawaban :
Wassalaamualaikum wr wb. Mas Agung yang dirahmati Allah SWT,
Dari pertanyaan Mas Agung, terlihat bahwa sistem pembiayaan yang digunakan oleh bank syariah tersebut adalah musyarakah mutanaqishah atau terkadang disebut dengan syirkatul amlak. Yaitu, musyarakah yang diakhiri oleh kepemilikan rumah secara penuh oleh nasabah setelah melalui proses pembelian proporsi kepemilikan bank secara bertahap.
- Dalam prinsip musyarakah, maka kesepakatan kontribusi modal awal, apakah 50:50 atau 60:40 atau pada rasio berapapun, sesungguhnya bergantung pada kesepakatan pihak yang bersyirkah. Adapun rasio bagi hasil dalam akad tersebut, tidak harus sesuai dengan proporsi modalnya, melainkan sesuai kesepakatan. Misalnya, meski rasio kontribusi modal 50:50, tetapi rasio bagi hasil bisa 70:30 atau 60:40, dst, tergantung pada kesepakatan. Biasanya pertimbangan utama bank dalam pembiayaan rumah berbasis musyarakah mutanaqishah adalah untuk mempercepat proses peralihan kepemilikan bagian bank kepada nasabah. Wajarlah kalau bank kemudian menerapkan pola bagi hasil yang prosentasenya lebih besar bagi bank.
- Dalam praktiknya, musyarakah mutanaqishah biasanya didampingi oleh akad ijarah (sewa). Mengapa? Karena pada pola pembiayaan tersebut, nasabah dan bank bekerjasama membeli rumah (dengan musyarakah) untuk disewakan (dengan ijarah), dimana penyewanya adalah nasabah itu sendiri. Sehingga, wajar jika nasabah membayar biaya sewa. Hasil dari biaya sewa tersebut, yang sesungguhnya menjadi profit dari usaha kerjasama tersebut, kemudian dibagi kepada nasabah dan bank sesuai proporsi bagi hasil yang telah disepakati. Karena ini adalah musyarakah mutanaqishah, maka nasabah kemudian membeli proporsi (bagian) kepemilikan bank terhadap rumah secara bertahap, hingga pada suatu saat, rumah tersebut dimiliki nasabah secara penuh. Lalu soal ijarah wa iqtina, itu berbeda dengan musyarakah mutanaqishah. Pada akad ijarah wa iqtina, bank adalah pemilik rumah yang menyewakan rumah tersebut pada nasabah, sehingga sebagai penyewa, nasabah membayar biaya sewa. Tidak ada bagi hasil untuk akad sewa ini. Adapun soal biaya administrasi, maka nasabah berhak untuk menanyakan komponen-komponen biaya adminsitrasi tersebut. Biasanya biaya tersebut digunakan untuk keperluan survey, biaya materai, biaya dokumen, notaris, dsb. Nilainya harus riil sesuai dengan pengeluaran.
- Wajar tidaknya sesungguhnya sangat relatif. Karena itu, sebaiknya Mas Agung meminta penjelasan mengenai landasan penetapan biaya sewa yang dibebankan. Biasanya biaya sewa tersebut berada di atas harga pasar untuk sewa rumah sejenis.
- Akad musyarakah mutanaqishah yang disertai akad ijarah sesungguhnya merupakan dua akad yang independen, namun saling mendukung. Itu tidak menjadi masalah. Demikian pula akad ijarah wa iqtina, dimana setelah berakhirnya periode kontrak tersebut, bank biasanya memiliki dua opsi, yaitu diberikan kepada nasabah sebagai hibah, atau dijual. Kalau opsi pertama yang diambil, maka pada dasarnya bank telah memperhitungkan di awal bahwa nilai sewa yang dibayarkan nasabah sama dengan harga jual. Sehingga, setelah kontrak ijarah selesai, maka bank tinggal menghadiahkan rumah tersebut kepada nasabah. Kalau opsi kedua yang diambil, maka setelah kontrak ijarahnya selesai, bank berhak menjual rumah tersebut dengan harga berapapun, bisa sama dengan harga pasar saat itu atau di bawah harga pasar. Kesimpulannya, tidak ada dua akad dalam satu kontrak. Wallahu'alam.
Wassalaamualaikum wr wb
Irfan Syauqi Beik
Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB