Assalaamu'alaikum wr wb
Saya pernah pinjam uang di salah satu BMT untuk bayar sekolah anak saya sebesar Rp 1 juta selama 1 bulan.
Komponen dalam pinjaman yang muncul adalah :
Akhir jatuh tempo pembayaran yang harus saya bayar adalah sebesar Rp 1,1 juta biaya administrasi Rp 30 ribu dan biaya materai Rp 14 ribu
Sehingga pada hakikatnya yang saya kembalikan tidak sesuai yang saya pinjam, tapi ada tambahan 100 ribu. Apakah ini bukan riba? Kalau itu riba, yang seharusnya sesuai dengan aturan syariah seperti apa?
Terimakasih
Wassalaam,
Jatmiko Nugroho
Jawaban :
Waalaikumsalaam wr wb. Pak Jatmiko yang berbahagia,
Jika memang akadnya seperti itu, yaitu akad pinjaman (al-qardh), maka mengenakan kelebihan pembayaran dalam jumlah tertentu, dalam kasus Bapak adalah sebesar Rp 100 ribu, termasuk ke dalam kategori riba. Sehingga, hukumnya menjadi haram. Dalam Islam, istilah pinjaman yang diakui adalah qardhul hasan, dimana tidak boleh ada unsur riba atau bunganya. Jika seseorang meminjam Rp 1 juta, maka orang tersebut harus mengembalikan Rp 1 juta.
Lain halnya kalau akad yang digunakan adalah kafalah bil ujrah. Pada akad ini, BMT bertindak sebagai pihak yang menanggung keperluan biaya pendidikan anak Bapak. Kemudian pihak BMT berkomunikasi langsung dengan pihak sekolah, dan menyerahkan dana pendidikan tersebut kepada pihak sekolah tanpa melalui perantara Bapak. Dalam konteks ini, BMT dapat mengenakan biaya jasa (ujrah) atas usahanya tersebut. Jika ujrah yang dikenakannya Rp 100 ribu, maka pembayaran Rp 1,1 juta oleh Bapak tidak mengandung unsur riba. Tetapi jika pihak BMT tidak mendatangi sekolah tempat belajar anak Bapak tersebut, dan malah menyerahkan uang Rp 1 juta kepada Bapak, maka pihak BMT tidak boleh mengenakan biaya jasa (ujrah) kepada Bapak, karena tidak ada usaha yang dilakukannya. Tanpa usaha, pengenaan ujrah menjadi tidak valid.
Akad lain yang dapat digunakan adalah ijarah bil ujrah, yaitu sewa dengan biaya jasa, dengan asumsi ada kerjasama antara pihak BMT dengan sekolah. Pada kasus Bapak, yang disewakan adalah ruang kelas beserta seluruh fasilitasnya, termasuk proses belajar mengajar, dimana nilai totalnya adalah Rp 1 juta. Maka wajar jika kemudian Bapak membayar biaya senilai Rp 100 ribu atas jasa yang telah diberikan pihak BMT kepada anak Bapak, sehingga total kewajiban Bapak menjadi Rp 1,1 juta.
Barangkali yang dipraktekkan oleh BMT tersebut bukan akad qardh atau pinjaman, melainkan salah satu dari kedua akad yang telah dijelaskan di atas. Namun demikian, seringkali pada prakteknya ada penyimpangan, sehingga seolah-olah akadnya menjadi akad pinjaman (al-qardh), karena tidak nampak usaha yang dilakukan oleh pihak BMT, padahal ada biaya ujrah yang dikenakan kepada Bapak. Oleh karena itu, akan lebih baik jika Bapak memberitahukan kepada BMT tersebut untuk memperbaiki pola layanannya, agar aspek kesesuaian syariahnya tetap terjaga. Wallahu'alam.
Wassalaamualaikum wr wb
Irfan Syauqi Beik
Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB