Assalamu alaikum wr wb.
Di lingkungan RT saya setiap selapan dino (35 hari) diselenggarakan pertemuan warga dalam rangka membangun kebersamaan. Salah satu ide yang telah terimplementasikan adalah pengumpulan dana warga sebagai modal kerja RT untuk mencari keuntungan dalam rangka pembangunan sarana prasarana wilayah dan kegiatan sosial lainnya.
Karena pada umumnya warga RT saya adalah pengrajin (home industri) dan usaha mikro lainnya, maka dana yang terkumpul di kas RT tersebut dipinjamkan lagi ke warga dengan kesepakatan setiap pengembalian dalam jangka waktu 35 hari tersebut dikenakan jasa 4 persen dari pokok pinjaman.
Nah, yang ingin saya tanyakan adalah :
Apakah kesepakatan warga menetapkan 4 persen tersebut bisa dikategorikan riba, sekalipun pemanfaatannya digunakan untuk kepentingan umum.
Sejauh ini dana warga yang terhimpun Rp 20 juta-Rp 30 juta. Sedangkan manfaat yang dirasakan langsung oleh warga cukup signifikan. Mulai dari pembangunan dan pemeliharaan jalan-jalan desa, penerangan jalan desa dan sarana sosial lainnya. Demikian pertanyaan saya, sebelum dan sesudahnya kami haturkan terima kasih.
Wassalamu alaikum wr wb.
Noor Rakhmat Syakdullah
RT 09 RW 03 Senenan, Tahunan, Jepara 59426
Jawaban :
Wa'alalaikumsalaam wr wb. Pak Noor Rakhmat yang dimuliakan Allah,
Jika melihat pola yang dipraktikkan, di mana ada kesepakatan untuk mengenakan jasa 4 persen dari pokok pinjaman, maka hal tersebut termasuk ke dalam kategori riba, yaitu riba an-nasiah. Hukumnya jelas haram dalam ajaran Islam, sebagaimana dinyatakan dalam QS 2 : 275-281. Karena itu, saya menyarankan sebaiknya pola pinjamannya diubah ke dalam bentuk pembiayaan yang lebih sesuai dengan ajaran Islam. Akad pinjaman (qardhul hasan) haruslah bebas dari tambahan, berapapun besarnya.
Sebagai solusinya, Pak Noor Rakhmat bisa mengusulkan sejumlah pola pembiayaan alternatif, bergantung pada jenis kebutuhan warga yang terlibat. Beberapa pola yang umum digunakan dalam pembiayaan mikro adalah murabahah (jual beli dengan marjin profit), musyarakah (kemitraan, bagi hasil dan bagi rugi), mudarabah (bagi hasil), maupun ijarah (sewa). Selain itu, juga bisa saja digunakan pola yang lain, seperti salam dan istishna, jika memang diperlukan.
Sebagai contoh, jika yang diperlukan oleh warga adalah pengadaan barang modal, maka murabahah bisa digunakan. Dalam murabahah, pihak pengelola dana kas RT (pihak 1) bertindak sebagai penjual, dan warga (pihak 2) sebagai pembeli. Pihak 1 berkewajiban untuk menyediakan barang yang saat ini diperlukan pihak 2, namun pihak 2 melunasi kewajibannya di masa yang akan datang, katakan setelah 35 hari. Kedua belah pihak harus menyepakati berapa besar marjin profit yang akan menjadi keuntungan pihak 1. Jika marjin profitnya 3 persen, maka pada saat jatuh tempo, pihak 2 harus membayar harga pokok pembelian (HPP) plus 3 persen.
Sekilas memang terlihat mirip, tetapi implikasinya berbeda secara makro, terutama terhadap pertumbuhan sektor riil dan inflasi. Penelitian Achsani, Ascarya dan Ayuniyyah (2010) serta Beik, Ayuniyyah dan Arsyianti (2010) mampu membuktikan bahwa tingkat suku bunga ternyata tidak berkorelasi positif dengan pertumbuhan di sektor riil. Sebaliknya, pola pembiayaan syariah justru memiliki dampak positif terhadap sektor riil. Bahkan peneliti Bank Indonesia, Ascarya, membuktikan bahwa kontribusi bunga terhadap inflasi mencapai angka sekitar 57 persen. Ini bukti valid bahwa sistem bunga, walau seolah-olah menguntungkan di tingkat mikro seperti kasus di daerah Bapak, tetapi secara makro merugikan. Akibat inflasi misalnya, daya beli uang yang kita pegang mengalami penurunan dari waktu ke waktu.
Apabila pola syariah diterapkan, insya Allah tetap akan menguntungkan, asal dikelola secara baik dan profesional. Manfaat yang dirasakan warga saya yakin akan tetap besar, bahkan akan semakin berkah dan bertambah, apalagi jika keuntungan dari dana yang digulirkan tersebut disalurkan untuk pembangunan sarana dan prasarana desa. Wallahu a'lam.
Wassalaamualaikum wr wb
Dr Irfan Syauqi Beik
Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB